17- Hujan dan Ingatan Lalu

171 106 194
                                    

Dengan langkah pasti, Jani pergi meninggalkan halte dan Damar yang masih geming di tempat. Ia berjalan menerobos hujan, membiarkan tubuhnya basah.

Melewati puluhan kilometer aspal yang dingin di malam hari sepertinya sudah jadi kebiasaannya sekarang. Karena ia bisa menangisi semuanya tanpa semuanya tahu. Sekuat itu ia pernah berpura-pura.

Semuanya baik-baik saja, Ma. Bahkan tidak ada yang menyakiti anakmu, Pak. Hanya saja harapannya terlalu jauh. Giliran di jatuhkan keadaan bahunya luruh. Matanya sayu dan di banjiri air mata ketidakberdayaan dari segala arah.

Jani teringat hari dimana Kak Theo berlari menerobos hujan untuk menjemputnya di tempatnya bekerja satu minggu yang lalu. Kak Theo akan selalu datang seperti pahlawan dengan payung hitam di genggaman tangannya, menerobos hujan dengan gerakan yang sangat keren.

Pada sore itu Kak Theo pernah berkata. "Kesayangannya Kak Theo gak boleh nangis. Masa abangnya tampang preman pasar senin, tapi adiknya lembek."

Karena bagi Kak Theo, Jani adalah segalanya Kak Theo.

Tapi setelah diingat-ingat lebih jauh lagi, laki-laki itu akan selalu menghampirinya saat hujan dan malam mulai datang. Dan disaat-saat seperti ini Jani membayangkan Kak Theo tengah berlari dengan payung hitam seperti biasanya.

Jani butuh teman. Jani butuh Kak Theo. Jani butuh siapapun yang bisa menariknya dalam ruang gelap.

Ada masanya bayangan itu menjadi kenyataan, seperti sekarang. Dengan penglihatan gelapnya Jani bisa melihat bayangan Kak Theo sedang berlari menderap langkah. Melangkah begitu pasti dengan napas terengah-engah. Sepatu Converse hitamnya terlihat basah, namun ia tetap berjalan begitu keren.

"Jani hujan." dan disaat Jani mendengar suara berat itu, ia tidak punya kemampuan lain selain berdiam sejenak mengentikan kakinya sendiri yang terus berjalan.

Sampai pada akhirnya Kak Theo mendekat, wajahnya basah kuyup terlihat dari pantulan lampu jalan yang remang-remang. Kak Theo mengikis jarak, disaat laki-laki jakung itu sudah berdiri menjulang di hadapannya, yang di lakukan Jani hanya diam sambil menangis.

"Sini peluk Kakak."

Tanpa bisa dicegah, Jani langsung memeluk Kak Theo. Dan menumpahkan segala air mata ketidakberdayaan pada dada besar Kak Theo. Hujan masih turun dengan deras disaat ada angin yang melintas payung yang semula di genggam Kak Theo sudah jatuh terbang entah kemana.

"Ulang tahun kok malah hujan-hujanan sih?" kata Kak Theo setelah mereka berdua saling terdiam dalam dekapan.

"Soalnya udah malam, jadi Jani terpaksa menerobos hujan, Kak." Meskipun itu benar, tetapi tidak menutupi kemungkinan bahwa ia juga berbohong.

"Ya udah, pulang sekarang yuk. Hujan-hujanan sekalian bareng Kak Theo. Coba sini lihat dulu."

Jani justru menggeleng. "Nggak mau lepas. Mau gini aja."

Karena nantinya disaat Jani melepas pelukan ini, Kak Theo akan melihat wajahnya yang sayu dan muram. Ia tidak ingin menunjukkan bahwa dirinya baru saja menangis

"Iya, deh. Kak Theo wangi nggak?" Tanya laki-laki itu sembari beberapa kali mengecup puncak kepala adik kesayangannya.

"Wangi."

"Haha, masak sih? Padahal belum mandi."
 
Bahkan di sela-sela hujan seperti ini, laki-laki berumur 25 itu masih menyelipkan candaan. Jani tidak menjawab lagi, ia sibuk mengirup dalam-dalam wangi baju Kak Theo yang sudah bercampur dengan air hujan. Seakan ia mendapat pasokan oksigen yang banyak di sana.

"Udah jangan nangis." katanya, yang praktis membuat Jani tersadar. "Gue jadi ikut sedih."

"Ja- Jani nggak nangis kok."

MonochromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang