09- Jalan Pulang

377 274 240
                                    

Di bawah lampu jalan yang meremang, Jani berjalan tanpa tahu arah. Ia hanya mengandalkan penglihatan gelapnya yang akan menjadi kompas untuk langkah kakinya membawa pergi.

Biasanya di keheningan ini Jani sering memikirkan banyak hal, salah satunya adalah tentang bagaimana ia bisa begitu lemah ketika berhadapan dengan banyak orang, lalu menjadi kuat saat sepi menyerang.

Dulu, Jani tidak terlalu suka abu-abu. Warna yang tidak jelas. Warna yang menggambarkan ketidak pastian, ketidakstabilan. Tapi sekarang abu-abu ialah hidup Jani.

Orang-orang selalu berpikir bahwa abu-abu adalah ketidak jelasan antara hitam dan putih. Ya tidak salah juga, setiap orang bebas mengartikan sesuatu menurut cara pandang mereka. Tapi saat ini makna abu-abu menurut Senjani Teodora ialah, abu-abu itu takdir. Saat hitam dan abu-abu identik dengan sesuatu yang kontraks, maka abu-abu bisa jadi alasan untuk keduanya bertemu.

Lalu Senjani ia menjadi Si Hitam.

Mama menyumbang gen buta warna dan Bapak punya luka di sekitar mata -persis seperti yang Kak Theo punya, Jani mewarisi semua gen itu dan bersamaan itulah lahirnya Senjani Teodora sebagai satu diantara sekian banyak orang di dunia ini yang memiliki kecacatan.

Jani memang kehilangan warnanya, dunianya. Tapi Tuhan masih memberikan keadilan, Jani masih bisa melihat. Tuhan tetap adil karena Dia masih memberikan Jani penglihatan. Tapi tidak adil saat Tuhan memanggil Bapak, saat Jani masih berusia sepuluh tahun. Bapak meninggal dalam kecelakaan kerjanya.

Rasanya Jani ingin mengeluh, kalau bisa untuk memilih, Jani lebih memilih untuk menyerah. Jani memilih untuk berhenti saat dirinya dibuat hancur tak berbentuk. Mungkin kedengarannya tidak pernah bersyukur atas pemberian Tuhan.

Tapi kalau saat itu Jani memilih untuk menyerah, mungkin hasilnya akan sama saja. Dan mungkin akan lebih buruk. Tapi dari rasa capek ini, dari rasa sakit ini Jani belajar menghargai waktu, menghargai kesempatan, menghargai dirinya sendiri.

Kadang memang kita harus capek untuk tumbuh menjadi orang dewasa yang bisa di andalkan.

Dalam ritme pernapasan yang keluar teratur, tiba-tiba Jani teringat sama laki-laki jakung yang akhir-akhir ini ia temui. Narendra. Ah, tidak enak bila mengingat nama itu. Seakan-akan Jani baru saja teringat tentang hutang jaketnya. Ah, bukan itu saja. Banyak kebaikan yang laki-laki itu berikan, yang tidak bisa Jani dapat dari orang lain. 

Jani juga jadi teringat apa yang laki-laki itu katakan pada siang tadi. Menjadi guru seni katanya? Sepertinya semesta senang mempermainkan dirinya.

Jani berdoa dalam kegelapan. Seandainya Tuhan benar memiliki malaikat, bisakah Ia mengirimkan satu untuknya?

Disaat suara pedagang sate Madura mulai terdengar dekat ditelinganya, Jani bernafas lega. Ia tidak tersesat lagi. Kini ia sudah sampai di depan gapura bertulis 17 Agustus dengan cat merah putih. Padahal saat ini sudah memasuki bulan Desember. Satu minggu lagi, juga sudah berganti tahun.

Berganti tahun ya? Haha.

"Mas," sapa Jani kepada pedagang sate sekaligus tetangganya, yang mangkang di pertigaan gapura.

"Ey.. mbak Jani, tak iye tak ye' tas moleh a?"

"Iya."

"Wehh.. mbak Jani, saiki wes gowo pacar yo mbak... Haduh, pak Ali mesti seneng iki perawan e entok Jodho."

"Pacar siapa sih, Mas?"

Mas-mas penjual sate itu, mengarahkan kipas satenya kepada seseorang yang sedang berdiri di belakang Jani.

MonochromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang