13- Janji Neverland

269 184 282
                                    

Update edisi B'day Jeno & teaser Renjun keluar wkwk

****

Jalanan Ibu Kota masih juga sama macetnya, sebab bersamaan dengan orang-orang pulang bekerja. Suara radio kembali terdengar setelah sekian lama metromini mulai berjalan.

Jani memandangi lampu jalan yang satu per satu mulai menyala. Ketika Jani bilang bahwa Narend memiliki segalanya, mungkin itu benar. Narend memiliki cinta yang dapat di terima oleh orang lain. Bisa dengan mudah mendapatkan ini itu tanpa harus bekerja keras.

Circle pertemanannya juga terlampau luas. Mungkin teman Narend hanya itu-itu saja, tapi mereka sudah cukup untuk di jadikan tempat berbagi cerita. Mereka berharga, seperti warna pelangi yang akan menyatu membuat kolase warna yang sangat indah. Juga dikelilingi oleh orang-orang baik. Apalagi?

Terkadang Jani sering bertanya-tanya dalam hati, tentang ... .

Boleh aku meminta apa pun yang bahkan belum aku inginkan?

Boleh aku tanyakan pertanyaan paling menyakitkan?

Boleh aku utarakan bagaimana rasanya terjebak di ruang gelap sendirian?

Boleh aku marah sekencang-kencangnya walau tak terjadi apa-apa?

Jani ingin merasa menang sehari saja, walau esok pagi seisi bumi lupa, bahwa seorang Senjani Teodora pernah bahagia.

Lagi-lagi ia hanya bisa menghembuskan napas, lelah. Ia tidak bisa untuk menyalahkan takdir, Tuhan menciptakan kita bukan sekedar gabut kan? Tapi kita dilahirkan seperti ini untuk beberapa alasan.

Jani berusaha menerima diri sendiri. Jadi daripada membandingkan diri dengan orang lain, berpikir bahwa kita nggak berharga, lebih baik berpikir dan merencanakan bagaimana cara supaya diri sendiri bisa bahagia. Tapi di mana ia mendapatkan bahagia?

Di sini ada yang menjual bahagia? Satu bungkus berapa harganya? Jani ingin beli.

"Kalau sore gini biasanya aku duduk-duduk di situ." Narend bersuara, setelah melewati minimarket dimana ia menghabiskan waktu sorenya.

"Sudah tahu. Masih ingat juga awal kita ketemu di situ."

"Menerobos deretan antrean?"

Jani tidak menjawab lagi. Gadis itu hanya menatap lurus ke arah jendela kaca, memandangi lalu lalang yang membuatnya pusing sendiri. Suara klakson dari para mobil pejabat melengkapi panggung sandiwara ini. 

Tanpa disangka-sangka Narend menarik tangan kirinya tanpa izin terlebih dahulu. Jani menoleh menimbulkan terkejutan yang kentara pada raut wajahnya.

Jani mengernyit, menatap laki-laki aneh yang akhir-akhir ini selalu menguntitnya. "Ngapain?!"

"Kalau aku nggak bisa lihat ingatan apa yang ada di kepala kamu, biarin aku yang buat ingatan itu sendiri." kata Narend.

Jani sontak memundurkan kepalanya. Sebelum akhirnya Narend betulan menggenggam tangan kiri Jani, sambil melihat kekosongan pada bola mata gadis di hadapannya ini.

"Pejamin mata kamu." pinta Narend.

"Mau ngapain? Mau? Mau aneh-aneh ya?"

MonochromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang