18- Come and Go

173 105 244
                                    

Narend menengadahkan telapak tangannya ke luar jendela. Merasakan hembusan angin yang berbisik seakan mengucapkan kata rindu yang tak pernah di mengerti.

Sekarang pukul satu dini hari. Sudah terbiasa ia insomnia. Terbangun di tengah malam hari yang dingin dan berangin.

Lagu Don't Go EXO masih terputar dari walkman miliknya. Sudah puluhan kali lagu itu berputar hari ini. Tumpukan kanvas hasil melihat lalu-lalang orang-orang yang tengah ia temui hari ini itu, terkapar tak berdaya. Lukisnya belum selesai sepenuhnya.

Narend berbalik, menarik kursi ke belakang lalu duduk damai di sana. Mengambil ponsel yang semula tergeletak di atas meja. Tidak ada pesan yang penting. Hanya beberapa video dari Papa yang berisi tentang tips atau cara melukis dengan konsep yang berbeda.

"Narend, Bunda masuk, ya?"

Ditolehnya ke belakang menampakkan kepala bunda yang menyembul di balik pintu. "Iya, masuk aja, Bund. Nggak usah pakai izin."

"Lagi ngapain kamu?" tanya Bunda ketika beliau sudah duduk di ujung kasur.

"Nggak ngapa-ngapain, cuman lihat hujan aja."

"Mau cerita-cerita sama Bunda nggak?"

Bunda adalah orang pertama yang selalu antusias dengan semesta yang Narend punya. Tentang hal-hal baru yang laki-laki itu temukan. Menceritakan semua harinya kepada bunda. Sebab, kepalanya terlalu berat untuk menampung itu semua. Jadilah ia juga butuh teman.

"Mau, dong."

"Okey, kita mulai dari mana?"

"Em," Narend sempat berpikir sejenak, ia ingin menceritakan banyak tentang Senjani kepada bunda. Namun, ia masih menunggu waktu yang tepat. Nanti ia akan bercerita. "Bunda dulu deh yang cerita."

"Yaudah. Sini." dengan begitu Narend langsung menyamankan posisinya. Kepalanya ia taruh di atas paha bunda yang sebelumnya sudah terdapat bantal. Ah, ini adalah tempat favoritnya.

Narend memandangi segala inci kamarnya. Dari sini ia bisa melihat segalanya yang di atas. Lalu pandanganya berhenti pada lukisan besar yang terpampang di dinding. Sebuah lukisan yang berisi dirinya, Bang Wina, Bunda, dan Papa. Yang tentu saja di lukis langsung oleh Papa.

"Apa menurutmu Papa itu sangat keren?"

Narend mengangguk. Ah, apakah sekarang Bunda bisa membaca pikirannya?

"Ya, dia memang sangat keren. Kamu tahu, dulu Papa pernah mengatakan ini waktu berada di acara kampus. Papamu berdiri layaknya seorang tokoh petinggi besar.  Lalu berkata 'Hei, perkenalan aku dari jurusan Arsi. Sudahlah kalian tidak perlu tahu namaku. Hei kamu Yona, mau kah menjadi kekasihku?' padahal saat itu kita nggak saling kenal."

Narend membulatkan matanya lebar-lebar, seakan-akan ia tidak percaya dengan aksi heroik papanya di masa muda dulu. Narend terkekeh bagimana ingatan itu muncul dalam kepala Bunda.

Sekalipun Narend bisa dengan mudahnya mengetahui itu dalam diri Bunda, ia tetap saja berusaha menjadi seorang yang normal. Meksipun dia memahami orangtuanya, sebenarnya tidak begitu. Orang tua atau bahkan orang dewasa lainnya pasti mempunyai satu hal yang rumit dan itu bukan porsi yang pas untuk anak-anak.

"Lalu, Bund?"

"Terus, ya, Bunda malu lah. Ramai banget lagi. Bahkan Papa melakukan itu sampai tiga kali."

"Norak sekali. Terlalu mainstream. Tapi itu keren loh, Bund. Butuh keberanian yang tinggi pasti."

"Halah. Malu-maluin yang ada." Bunda menyisir ke belakang rambut Narend. Di tatapnya sang bungsu lekat-lekat.

MonochromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang