05- Tangerine

Mulai dari awal
                                    

"Karya seni hanyalah tiruan dari realita yang ada. Realita yang ada adalah tiruan atau mimesis dari yang asli. Yang asli itu adalah yang terdapat dalam ide. Ide jauh lebih unggul, lebih baik, dan lebih indah daripada yang nyata ini."

Pak Talmi berbalik hanya untuk menjumpai Narend berbicara dengan lantang. "Ya, itu menurut Plato. Tapi tidak semua seni menggambarkan realisasi yang ada. Contohnya kamu, Narend."

Narend mengerutkan dahi.

"You can make art just by looking someone's eyes, you know that. every art that you make is always abstract but has meaning." pak Talmi berjalan menuju kanvas Narend. Disaat semua murid belum memulai melukis Narend sudah memulainya tanpa aba-aba. "Seperti gambarmu ini, contohnya."

"Kamu tahu karya Solvador Dali 'The Persistence of Memory'?" seisi kelas langsung mendadak hening. Mulai menyimak, jika pak Talmi sudah menyebut pelukis asal Spanyol itu, pasti dalam mode serius.

"Semua lukisan yang ia buat itu selalu memiliki arti. The iconography may refer to a dream that Dalí himself had experienced, and the clocks may symbolize the passing of time as one experiences it in sleep or the persistence of time in the eyes of the dreamer. The orange clock at the bottom left of the painting is covered in ants---"

"Pak! Jangan bahasa Inggris dong. Kasihan sama yang gak paham. Saya sih paham saja, tapi yang lain enggak." ucap seorang laki-laki dengan senyum paling lebar, tapi ia memiliki warna kuning yang cukup keruh. Seakan senyuman itu tidak berarti apa-apa.

Siswa yang merasa terwakilkan pun ikut bersorak. "Iya, Pak komandan ini gimana sih. Sebagai guru itu harus menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa apa kawan-kawan?"

"BAHASA INDONESIA!!!"

Pak Talmi segera mengangguk-angguk dramatis. "Emm, sudah bisa dibaca pasti nilai bahasa Inggris kamu C ya?"

"Wah gak iso, sampean iki kok ngenyek aku seh pak. Wah yo jelas C, kayak saya ini dapat nilai A dalam pelajaran bahasa Inggris udah masuk keajaiban dunia. Dan harus masuk CNN!!" Lukas menggebu.

Setelah anak laki-laki itu berbicara panjang lebar seperti tadi, langsung membuat seisi kelas tertawa terpingkal-pingkal.

Tak lama kemudian pintu kelas terbuka, suasana mendadak disergap hening.

"Maaf, saya terlambat."

Suasana mendadak ricuh suara cemoohan terlontar satu persatu.

"Ihhh, Rancot!!! Bau banget sih loo!!"

"Gak mandi ya lo??? Busuk bangetttt."

"Heh. Rancot, keluar ajaa!!! Lo mau kita pingsan gara-gara bau busuk lo??"

Narend tahu namanya, bukan Rancot tapi Senjani, ya Senjani.

Narend melihat Senjani yang tengah berdiri dengan keadaan yang lagi-lagi menghawatirkan, jas almamater nya kotor warna hijau pada jasnya sudah mulai sedikit luntur dan ada bercak noda disana.

"Padahal udah bener lo gak pernah hadir di kelas ini. Terus kenapa tiba-tiba lo muncul lagi sihhh. Sepettt tau nggak gue lihatnya!"

"Lo tuh buta warna, nggak usah mimpi mau belajar seni lukis!."

Narend tertegun mendengar pengungkapan barusan. Lo tuh buta warna, nggak usah mimpi belajar seni lukis. Ia mengulangi kalimat itu sekali lagi.

"Pak, bau pak. Usir aja tuh anak."

"Kalian itu kenapa sih, ada masalah apa sama Senjani?"

MonochromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang