35. Sadar

96 28 12
                                    

Setelah perawat keluar, Pattar menatap Mama dengan tatapan bersalah. Tangannya gemetar dan matanya memerah. Ia menyesali sikapnya yang begitu kekanak-kanakan. Seharusnya hubungan mereka tidak akan jadi serumit itu jika ia tidak bersikap semaunya. Ia mengarahkan tangannya berniat menyentuh wanita yang masih terbaring itu, tapi ia ragu. Akhirnya, ia menggenggam tangan wanita itu dan menangis dalam diam. Mungkin hal ini tidak akan berani ia lakukan jika wanita itu sadar. Setelah lelah menangis, ia merebahkan kepalanya di tempat tidur dan tidak melepaskan genggamannya. Tanpa sadar, ia tertidur.

Hari sudah menggelap saat Hana dan Bunda datang untuk menjenguk Mama di rumah sakit. Hana mendapat telepon dari Petra sebelumnya. Mereka tiba di depan pintu dan melihat pasangan ibu dan anak itu dalam kondisi yang tidak wajar. Bunda lantas menahan Hana yang sudah ingin bergegas masuk. Hana mengerti dan akhirnya mereka memilih untuk menunggu hingga Pattar keluar dari ruangan itu.

Mama bangun dan mendapati Pattar tengah tertidur sambil menggenggam tangannya. Ia tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Ia menggerakkan tangan yang digenggam oleh anak bungsunya dengan lembut. Ia tidak bisa merasakan tangannya, itu artinya Pattar sudah di sana sejak lama. Mama jadi merasa bersalah. Ia mengusap puncak kepala putranya dengan tangan yang diinfus. Gerakan itu membuat Pattar terbangun.

"Kamu sudah bangun?" Wanita dengan pakaian pasien itu bertanya.

Pattar menegakkan badannya dengan cepat. Ia terbangun dari mimpi indahnya. Dengan terbata ia menjawab, "Iya."

Wanita itu menarik tubuhnya untuk duduk bersandar. Dengan sigap Pattar membantu menaikkan bantal dan membantu wanita yang sangat ia rindukan itu.

Setelah mendapatkan posisi yang nyaman, wanita itu merentangkan tangannya dan tersenyum lembut pada Pattar. Laki-laki itu justru dibuat membeku tidak percaya.

"Kamu nggak kangen Mama?" Mata wanita itu sudah berkaca-kaca.

Dengan ragu-ragu, Pattar mendekat dan merengkuh wanita itu dalam pelukan. Pelukan yang sangat erat. Pelukan yang sudah sangat lama ia rindukan.

"Maaf. Mama minta maaf." Suara lembut yang selalu ia rindukan, berbisik di telinganya diiringi isak pelan.

Laki-laki beusia 20 tahun itu sudah lupa kapan terakhir kali ia memeluk ibunya. Satu permintaan maaf ini melunturkan semua kecemburuan dan rasa marah yang selama ini ia pendam.

"Aku yang salah, aku yang nggak bisa jadi seperti yang Mama mau. Aku nggak suka belajar dan nggak bisa sepintar Bang Petra." Laki-laki itu melonggarkan pelukannya dan menatap tepat di mata Mama, "Aku minta maaf, Ma."

Wanita itu kembali menarik anaknya ke dalam pelukan. Pelukan yang selama ini selalu ia dambakan. Ia menyesali semua kesalahannya di masa lalu. Sesaat setelah mereka usai menangis, seorang perawat masuk dan membawa satu ampul obat yang akan disuntikkan.

Bunda dan Hana masuk tidak lama kemudian. Bunda tersenyum hangat seperti biasanya dan Hana tersenyum jahil. Sepertinya ia sudah siap untuk meledek Pattar tentang tangisannya barusan. Mama meminta waktu untuk berbicara berdua dengan Hana. Bunda langsung mengerti dan mengajak Pattar keluar. Pattar yang tidak paham akan situasi batal protes ketika Mama menatapnya lembut dan menyuruhnya keluar.

"Hana, saya mau berterima kasih sama kamu. Kamu sudah ada di sisi Pattar selama ini."

Hana tersenyum. Wanita yang dulu sangat ia hindari ini, kelihatannya benar-benar merasa bersalah. "Gak apa-apa, Tante. Saya senang berteman dengan Pattar. Ya meskipun dia playboy. Ups." Hana menutup mulutnya.

Mama tertawa pelan, "Jadi, menurutmu dia gimana?"

Hana mendekatkan tubuhnya dan berbisik pelan seperti menyampaikan rahasia negara. Tak lupa ia melihat sekeliling sebelum bercerita. "Pattar itu playboy kelas berat. Zaman SMA, dia pacaran sama 15 cewek. Itu belum termasuk korban PHPnya. Ini baru setahun kuliah aja dia sudah pacaran 10/11 kali. Kemampuannya meningkat tajam."

The Untold Story ✓حيث تعيش القصص. اكتشف الآن