32. Playboy

101 22 8
                                    

Ruangan berdinding abu-abu hitam dan langit-langit putih itu kosong ketika Hana memasukinya. Sebelum datang ke bengkel, ia sudah mengirim pesan pada Pattar dan Zai, tapi tidak ada satupun yang membalas. Ia sempat menduga kalau kedua sahabatnya itu tengah sibuk mengerjakan proyek terbaru mereka di bengkel. Ternyata dugaannya salah. Ruangan itu kosong dengan lampu padam. Hana langsung saja masuk dan merebahkan tubuhnya di sofa panjang yang baru mereka beli sekitar dua bulan lalu. Setelah hampir satu tahun, bengkel sudah mengalami banyak perubahan. Kini ada karpet berwarna abu-abu, sofa dengan bantal warna warni, beberapa pot tumbuhan yang diletakkan di dekat jendela dan dua etalase kaca tempat hasil kerja Pattar dan Zai dipajang.

Hana menatap langit-langit dan menghela napas. Ia datang ke bengkel untuk mengganggu Pattar dan Zai, tapi kedua orang itu hilang bak ditelan bumi. Hana mencoba menelepon mereka bergantian, dengan kompaknya kedua nomor mereka tidak aktif. Akhirnya Hana membuka Instagram untuk menghilangkan rasa bosannya. Ia melihat satu notifikasi yang mampu membuatnya terduduk dan tidak mempercayai matanya sendiri. @Jeffnarendra mengikuti anda. Satu kalimat yang mampu membuatnya berteriak girang.

Bersamaan dengan teriakannya, pintu bengkel dikuak. Pattar dan Zai dibuat terkejut hingga hampir bertabrakan satu sama lain.

"Kenapa sih teriak-teriak?" Pattar meraih satu bantal dan melemparkannya ke arah Hana sebagai hukuman karena sudah membuatnya terkejut.

"Kak Jeff follow gue. Kak Jeff yang ganteng itu follow gue." Hana bercerita dengan antusias.

"Jeff mana?" Zai berbisik pelan pada Pattar.

"Jeff anak kedokteran?" Pattar bertanya dengan nada tidak senang.

"Iya. Beberapa hari lalu kami sempat ketemu dan sekarang dia follow gue." Hana menatap layar handphonenya tidak percaya.

"Jeff itu gak baik. Gue tahu record track dia. Dia itu playboy kelas berat. Kalau dia hubungi lo, jangan ditanggapi." Pattar jadi sewot.

"Maaf, coba lo ngaca dulu sana. Lo juga playboy dan gue baik-baik aja tuh temenan sama lo. Kapan lagi gue punya temen secakep Kak Jeff?"

Pattar terdiam. Zai masih mengamati situasi.

"Oh iya, lo berdua dari mana? Kenapa nomor kalian gak aktif?" Hana bangkit berdiri dan berkacak pinggang.

Dengan wajah yang tidak menunjukkan rasa bersalah, Pattar duduk di sofa dan mengabaikan pertanyaan Hana.

"Zai?" Hana menatap Zai dengan tatapan menyelidik.

"Biasa, Pattar baru putusin si Mira. Tadi dia telpon Pattar terus, akhirnya Pattar matiin handphone. Setelah nomor Pattar gak aktif, dia neror gue." Zai bercerita dengan mata sayu.

"Tuh, kan. Sudah gue bilang berapa kali. Jangan jadi kebiasaan dong. Pacaran itu bukan cuma untuk kesenangan lo doang. Lo gak pernah mikirin cewek-cewek yang jadi korban lo." Hana masih berkacak pinggang dan menghakimi Pattar yang duduk santai di sofa.

"Inget, gue gak mau lo dekat-dekat sama Jeff."

"Jangan mengalihkan pembicaraan." Hana jadi emosi betulan.

"Lo harus dengerin omongan gue dulu." Pattar menegakkan badannya, "Jeff gak baik."

"Capek gue ngomong sama tembok." Hana mengambil tasnya dengan kasar dan berjalan keluar dari bengkel.

Zai yang menyaksikan kejadian itu hanya bisa menghela napas. Ia duduk disamping Pattar dan menatap langit-langit.

"Sejak kapan?" Zai bertanya dengan nada sebiasa mungkin.

"Apanya?" Pattar menatap Zai penuh tanya.

"Lo sudah tahu maksud gue. Jadi sejak kapan?"

"Gue gak mengerti pertanyaan lo."

"Sejak kapan lo suka sama Hana?" Zai masih tetap menatap langit-langit.

"Gue? Suka sama Hana? Jangan bercanda." Pattar tertawa mendengar pertanyaan Zai.

"Gue hanya mengajukan pertanyaan ini sekali. Setelah ini gue gak akan ikut campur urusan lo dengan Hana."

"Lo kenapa sih, Zai?" Pattar tidak bisa menangkap maksud Zai.

"Jawab pertanyaan gue." Zai menatap tepat pada mata Pattar.

"Gue suka sama dia sebagai sahabat, gak pernah lebih." Pattar sempat memberi jeda cukup lama sebelum menjawab pertanyaan itu.

"Oke, anggap aja gue gak pernah tanya tentang itu." Zai tersenyum dan kembali menatap Pattar dengan ramah.

"Hana itu selalu salah memilih laki-laki. Makanya gue khawatir."

"Oke, gue maklumi itu. Oh, iya. Lo balik gak liburan ini?"

"Enggak deh. Gue mending gabung sama anak-anak buat ngurusin ospek. Lagian kalau gue pulang, gak ada hal berguna yang bisa gue lakuin. Mungkin gue balik sehari atau dua hari untuk ketemu Papa."

"Satu-satunya hal berguna yang buat lo ikut panitia ospek adalah bisa cari mangsa baru kan?" Zai menggeleng pelan.

"Nah, itu lo tahu." Pattar nyengir.

"Gue bakal jadi relawan di Lombok satu bulan ke depan. Cuma mau kasih info kalau Bang Petra juga ikut program yang sama." Zai mengamati perubahan ekspresi sahabatnya.

"Baguslah, dia pasti buat Mama bangga dengan itu." Pattar menghela napas panjang.

"Lo juga melakukan banyak hal hebat loh, salah satunya berhasil pacaran sama tiga cewek sekaligus." Zai tertawa sampai matanya menyipit dan membentuk lengkungan.

"Sialan." Pattar memukul Zai dengan bantal yang ada di sofa.


Terima kasih sudah membaca.
Sudah lama nih gak main ke bengkel. Bengkel dulu lah ya.

"Masih gue pantau." Jeffry Narendra

The Untold Story ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang