3. Makan Malam

227 83 11
                                    


Suasana tidak nyaman terbentuk ketika keempat anggota keluarga itu duduk bersama di meja makan. Papa dan Mama duduk bersisian sedangkan Pattar memilih duduk di kursi yang berjarak cukup jauh dari Petra. Keheningan menyelimuti meja makan yang seharusnya riuh dengan canda tawa dan suara dentingan sendok yang menyentuh piring. Papa akhirnya menyerah dan membuat suara berdehem dan melirik ke arah Mama untuk memberi kode.

Mama menegakkan tubuhnya, memperbaiki posisi duduk yang kelihatan kaku dan meremas jari-jarinya. "Pattar, besok kamu sudah mulai masuk sekolah jadi Mama harap kamu bisa beradaptasi di sekolah baru kamu."

Pattar memperhatikan setiap kata yang diucapkan Mama dan ia menganggukkan kepalanya. Pattar sebenarnya sangat ingin memeluk wanita yang kelihatan rapuh itu. Mama kelihatan jauh lebih tua dari usianya. Pattar juga bertanya-tanya seberapa banyak beban yang ditanggung wanita itu selama ia tidak ada di rumah. Kemudian kenyataan menghantam ketika Mama dengan cepat bangkit dari duduknya untuk menghampiri handphone yang berbunyi. Ketika mendengar kalimat penutup dari sambungan telepon, Pattar tahu itu urusan pekerjaan.

"Maaf, Mama ada pekerjaan darurat. Kalian lanjut aja makannya."

"Hari ini aja, tinggalkan pekerjaanmu. Pattar baru pulang, ini kali pertama kita makan malam bersama."

"Ini urusan nyawa. Gak ada yang bisa ditawar." Mama segera pergi meninggalkan ruang makan, mengambil tasnya, tak lama kemudian suara mobilnya terdengar menjauhi rumah.

"Baiklah, ini waktunya makan malam para lelaki. Biarkan saja Mama kalian yang gila kerja itu."

"Kalian berdua sama aja." Petra mendorong kursinya dan berniat meninggalkan meja makan.

"Petra, kita belum mulai makan."

"Aku sudah kenyang." Petra berjalan meninggalkan meja makan dan masuk ke kamarnya.

"Yah, jadinya kita makan berdua lagi. Tolong dimaklumi ya. Abang kamu tuh lagi sensitif aja." Papa berbicara dengan suara pelan.

***

Setelah makan malam bersama Papa, Pattar membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Pattar kembali menatap langit-langit dan memejamkan matanya. Pattar berharap bisa mendengar suara Petra dari balik tembok. Pattar merindukan Petra, namun sejak awal pertemuan mereka terasa salah. Entah apa yang terjadi selama lima tahun terakhir tapi Petra kelihatan berbeda dari apa yang Pattar ingat. Kenangan masa lalu kembali menghampiri Pattar.

Pattar dan seorang gadis yang mengenakan seragam TK yang sama duduk di teras taman belakang rumah. Mereka memakan buah mangga yang telah dipotong kecil-kecil. Tak lama kemudian Petra muncul dengan seragam merah putih khas anak SD.

"Pattar, ayo tanam biji mangga." Petra dengan semangat memanggil Pattar. "Ada Hana juga, halo Hana. Hana mau tanam biji mangga sama-sama?"

"Mau." Hana mengangguk kemudian bangkit dari duduknya.

Pattar yang melihat Hana mengikuti Petra langsung bergegas menyusul. Mereka berjongkok mengelilingi satu titik. Petra sibuk mengais tanah dengan cangkul kecil di tangannya, Hana membantu dengan memegang biji mangga dan Pattar hanya mengamati yang dilakukan Petra.

"Kata Bu guru, kalau biji buah ditanam dan disiram dengan baik bisa tumbuh jadi pohon yang berbuah banyak."

"Jadi, kita harus sama-sama rawat bijinya sampai jadi pohon?" Gadis kecil dengan rambut ekor kuda itu menatap Pattar dan Petra bergantian.

"Iya , dong."

"Oke, kalau sudah berbuah Hana cuma boleh ambil satu. Kan yang tanam pohonnya Abang aku." Pattar menjulurkan lidahnya pada Hana kemudian ia berlari.

Hana berlari mengejar Pattar dan ketika Hana mulai lelah ia meminta bantuan Petra untuk menangkap Pattar. Mereka berlari dan beberapa kali hampir terjatuh namun semuanya terasa menyenangkan.

Ingatan itu terhenti ketika suara pintu diketuk memecah fokus Pattar. Pattar membuka pintu dan mendapati Mama berdiri di sana. Sepertinya operasi yang dilakukan baru selesai karena Pattar dapat mencium aroma antiseptik dari tubuh mamanya. Pattar menatap wanita dengan wajah oriental dan hidung mancung itu, terlihat beberapa helai baju pada tangan kanannya.

"Ini seragam kamu. Jangan sampai terlambat ke sekolah." Mama mengucapkan kalimat itu dengan cepat sambil menyerahkan baju yang ada di tangannya.

Pattar tidak menjawab, ia hanya menganggukkan kepalanya.

"Jangan ngebut dan perhatikan rambu-rambu. Hm... selamat tidur." Mama membalikkan badannya dengan canggung dan berjalan dengan cepat setelahnya.

Senyum Pattar mengembang ketika ia melihat baju di tangannya.


#30daywritingchallenge #30DWCJilid24 #Day5

The Untold Story ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang