17. Sepatu

138 47 0
                                    

Sebuah meja di kafe dengan interior kekinian dipenuhi oleh anak-anak tim sepak bola Pattar. Mereka mengadakan makan bersama untuk merayakan kelulusan anggota kelas XII. Pattar sengaja duduk di sudut ruangan untuk mengamati situasi. Tadi siang, Pattar baru mengetahui fakta kalau Sion telah menjadi pacar Hana. Pattar mengunyah kentang dengan kasar ketika melihat Sion datang. Ia benar-benar ingin segera berbicara langsung dengan laki-laki itu.

"Sorry gue telat." Sion menarik kursi yang berada di bagian tengah. Ia menyapa satu persatu orang yang menghadiri acara itu. Ketika matanya bertemu dengan mata Pattar, Sion tersenyum tapi Pattar langsung buang muka. Hal itu sempat membuat dahi Sion berkerut.

"Karena semua sudah hadir, silahkan pesan makanan utama untuk malam ini." Kapten tim sepak bola yang baru memanggil pelayan dengan sigap.

Setelah makan malam usai, mereka berbincang dan bertukar cerita. Sebagian dari mereka sangat antusias menjelaskan rencana perkuliahan mereka. Pattar lebih banyak diam, matanya terus menatap Sion tajam. Sion yang merasa tengah diperhatikan akhirnya bergerak menghampiri Pattar.

"Lo kenapa?" Sion menarik kursi di sebelah Pattar.

"Lo sudah beres di sini? Gue perlu ngomong sama lo." Pattar menatap Sion dengan tatapan tidak ramah.

"Ada apa? Lo mau ngobrol di luar atau kita pindah meja?"

"Keluar aja." Pattar langsung bangkit berdiri dan pamit pada rekan-rekannya. Gerakannya juga diikuti Sion yang turut pamit.

Mereka berjalan ke sebuah taman tidak jauh dari kafe tempat mereka bertemu sebelumnya.

"Lo mau ngomong apa?" Sion menatap Pattar. Wajahnya menampilkan senyum yang kini mulai Pattar benci.

"Lo pacaran sama Hana?" Tanpa basa-basi, Pattar langsung memastikan apa yang ia dengar.

"Wow, gue kira lo sudah gak peduli sama dia. Kenapa lo peduli masalah itu?" Sion bertanya dengan wajah datar tanpa ekspresi.

"Gue tanya sekali lagi. Lo pacaran sama Hana?" Pattar menaikkan nada suaranya.

"Iya. Terus urusannya sama lo apa? Bahkan dia bukan lagi sahabat lo."

Pattar mengepalkan tangannya. Ia berusaha menahan amarahnya, "jangan lo sakiti dia."

"Maaf, maksud lo?" Sion cukup terkejut melihat reaksi Pattar.

"Lo kira gue gak tahu? Lo punya pacar lain selain Hana." Pattar menatap Sion sinis.

"Itu urusan gue dan Hana. Lo gak berhak ikut campur. Kalo cuma itu yang mau lo sampaikan, gue cabut." Sion meninggalkan Pattar yang masih berdiri di tempatnya.

Pattar mengepalkan tangannya, ia bergerak menghampiri sebuah pohon dan ia meninjunya berkali-kali hingga tangannya terluka.

***

Petra dan Papa telah duduk di meja makan dengan hidangan makan malam yang belum disentuh. Papa sudah bilang pada Petra kalau mereka bisa makan tanpa menunggu Pattar, tapi Petra bersikeras kalau mereka harus menunggu Pattar pulang. Petra mengabaikan kecanggungannya dengan Papa dan duduk di sebelah Papa yang sudah memegang sendok sejak 30 menit yang lalu. Petra terus berusaha menelepon Mama yang tidak kunjung mengangkat telponnya.

"Halo, Ma. Mama dimana?" Setelah puluhan kali percobaan akhirnya telepon Petra diangkat.

"Mama baru selesai rapat darurat, Nak. Kenapa?"

"Mama bisa pulang sekarang?"

"Mama masih harus selesaikan pekerjaan di sini. Maaf ya Mama belum bisa temani kamu makan malam."

"Bukan untuk aku, Ma. Tapi untuk Pattar. Hari ini, hari kelulusan Pattar." Petra memelankan suaranya.

"Mama masih ada pekerjaan, sayang."

"Tapi, Ma..." Petra tidak melanjutkan kalimatnya karena mendengar Mama berbicara dengan orang lain.

"Mama tutup teleponnya." Setelah itu, suara Mama tidak lagi terdengar.

Petra menghela napas dan menatap Papa yang masih memegang sendok di tangannya.

"Adik kamu pasti mengerti. Mama kan sudah biasa begitu." Papa menatap Petra dengan tatapan prihatin.

"Aku merasa Mama memperlakukan aku dan Pattar dengan berbeda. Sekarang aku sadar kenapa dia bersikap dingin sama aku. Itu semua karena kalian." Petra meninggalkan meja makan begitu saja.

***

Pattar pulang tengah malam. Setelah ia melukai tangannya sendiri dengan meninju pohon, ia duduk lama di taman tersebut. Pulang ke rumah tidak terasa benar. Mengunjungi rumah Hana untuk memberitahunya kebenaran tentang Sion juga terasa sangat salah. Sudah hampir dua tahun ia tidak mengunjungi rumah itu. Beberapa kali Bunda berkunjung ke rumah hanya untuk menengoknya, tapi ia masih enggan mengunjungi rumah Hana. Karena rasa bersalah, mungkin karena rasa cemburu yang sempat membuatnya memusuhi sahabatnya sendiri. Apa dia cemburu pada Petra? Cemburu pada hubungan mereka? Atau justru cemburu pada Hana karena ia bisa terlihat begitu dekat dengan Petra?

Pattar masuk ke kamarnya, ia meletakkan tasnya di atas meja belajar. Perhatiannya tertuju pada kotak sepatu yang ada di atas meja belajarnya. Ia membuka kotak itu dan mendapati sepasang sepatu yang sangat ia inginkan. Tanpa sadar ia berteriak kegirangan. Pattar menduga, sepatu ini pasti dari Papa karena mereka memiliki selera yang sama. Pattar langsung mencoba sepatu itu, ia melonjak kegirangan saat melihat sepatu itu cocok untunya. Pattar mengambil foto saat ia mengenakan sepatu barunya kemudian ia mengirimkan foto tersebut pada Papa.

Pattar: Terima kasih, Pa. Aku suka sepatu barunya.

Papa: Kamu gak salah kirim?

Pattar: Loh, sepatu di atas meja belajar bukan dari Papa?

Papa: Bukan, mungkin dari Abangmu. Tadi dia sudah heboh banget mau merayakan kelulusanmu.

Pattar: Oh, oke.

Papa: Jangan oke aja, bilang terima kasih sana.

Pattar: ...

Kaki Pattar melemas. Kini bukan hanya tangannya yang sakit tapi kepalanya juga. Ia cukup terkejut setelah mengetahui sepatu yang kini ia kenakan adalah pemberian Petra. Ia menyesali teriakannya sebelumnya. Jika Petra belum tidur, pasti ia mendengar teriakkan Pattar. Kepala Pattar tengah bekerja keras memikirkan bagaimana cara berterima kasih pada saudaranya yang kini berada di balik tembok kamarnya. Sebuah suara muncul dari handphone yang masih ada di genggamannya. Pattar melihat sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak ia simpan. Dengan ragu Pattar membuka pesan itu dengan menyentuh layar handphonenya.

Selamat untuk kelulusanmu.

Petra

Tanpa sadar Pattar menjatuhkan handphonenya. Dengan cepat ia mengambil kembali handphonenya dan ia membalas pesan itu dengan satu kata 'Thanks'. Tak lama setelah itu, satu notifikasi lainnya masuk. @hafta.petramula mulai mengikutinya di Instagram. Pattar bingung, kini ia harus senang atau kesal. Ia senang, karena Petra mengambil langkah untuk lebih dulu mendekatinya tapi ia juga kesal karena ini artinya ia akan berusaha lebih keras untuk tidak mengagumi Petra.

#30daywritingchallenge #30DWCJilid24 #Day21

The Untold Story ✓Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz