27. Saudara

121 38 2
                                    

Ada yang pernah bilang, hubungan darah akan selalu lebih dekat dari hubungan apapun. Sebelumnya, Zai sangat mempercayai hal itu. Sejak kecil ia sudah diajarkan untuk mengasihi makhluk hidup lain. Meskipun ia tidak punya saudara kandung, tapi Zai punya sangat banyak saudara angkat yang selalu ia temui setiap akhir minggu. Ayahnya memiliki beberapa panti asuhan. Zai dibesarkan di tengah keluarga yang sangat besar. Ia sendiri baru mengetahui kalau dirinya adalah satu-satunya putra kandung dari pemilik panti setelah ia berusia tujuh tahun. Di panti, Zai punya banyak sekali saudara, tapi ia tidak pernah bertengkar hebat dengan salah satu dari saudaranya. Jadi, hubungan Pattar dan Petra yang ia tahu sangat canggung adalah fakta yang mengejutkan. Zai tidak pernah menduga kalau ada hubungan saudara –bertalian darah- bisa separah itu.

Zai dan Petra duduk di sofa panjang yang berada di ruang tengah. Zai sengaja mengajak Petra keluar setelah melihat tensi antara kakak adik tersebut menebal. Mereka membahas beberapa hal tentang pengabdian masyarakat. Zai juga sempat bercerita tentang taman baca yang baru ia dirikan bersama beberapa saudaranya yang berasal dari panti. Mereka melakukan kegiatan mengajar dan mendirikan perpustakaan bebas akses di lingkungan kumuh. Dengan senang hati Petra menawarkan diri untuk bergabung sebagai relawan. Mereka berbincang sambil bersenda gurau. Zai tidak menduga kalau mereka bisa akrab dengan cepat.

"Abang luar biasa. Di tengah kesibukan saat ini masih mau menyempatkan untuk ikut taman baca."

"Justru kamu yang hebat. Saya merasa beruntung bisa kenal kamu." Petra balik memuji dan menyunggingkan senyum.

"Kalian benar-benar saudara." Zai berkata dengan suara pelan.

"Maaf. Kamu bilang apa?" Petra sengaja mendekatkan tubuhnya untuk mendengar kata-kata Zai dengan lebih jelas.

"Maaf sebelumnya, Bang. Tapi Abang dan Pattar benar-benar mirip. Kalian bisa dengan mudah dekat sama orang. Hari pertama aku di kos ini, Pattar sudah jadi temanku. Dia bahkan mengajak makan siang bersama dan kami jadi sangat dekat. Ini kedua kalinya kita ketemu, tapi entah kenapa, aku merasa kalau kita sudah kenal lama." Zai berbicara hati-hati dan ia terus mengamati perubahan ekspresi Petra.

"Kami begitu menurun dari Papa. Hana sama Papa juga dekat, kalau lihat mereka bersama pasti orang percaya kalau mereka pasangan ayah dan anak." Petra tersenyum.

"Abang pasti kagum banget ya sama papanya?" Zai masih berbicara dengan hati-hati.

"Tentu, dia panutanku. Tapi sayang, kami enggak begitu dekat. Beliau lebih dekat sama Pattar." Petra mengakhiri kalimatnya dengan helaan napas.

"Pattar justru cerita kebalikannya. Dia sangat kagum sama mama kalian, tapi dia gak begitu dekat. Beliau lebih dekat sama Bang Petra. Maaf, Bang, kalau aku sudah melewati batas. Tapi menurutku, kalian masih punya kesempatan untuk perbaiki hubungan kalian. Sebelum kalian menyesal."

Petra kembali menghela napas panjang. Kakinya sibuk bergerak dan jarinya menepuk-nepuk sofa pelan.

"Maaf, Bang. Aku gak bermaksud menggurui. Sebenarnya, aku iri melihat kalian, apalagi waktu lihat Abang datang ke pertandingan sepak bola."

Petra merasa sangat lega karena melihat Hana keluar dari kamar Pattar yang pintunya tetap terbuka lebar.

"Ngomongin apa sih? Kok serius banget?"

"Lagi ngomongin taman baca punya Zai." Petra menjawab sambil melirik Zai sekilas.

"Ooh, kirain lagi bahas apaan. Yuk, balik. Bunda tiba-tiba datang, katanya sudah di rumah."

Petra beranjak dari tempatnya dan segera berpamitan pada Zai.

"Sama Pattar enggak?"

Petra berjalan begitu saja, mengabaikan kata-kata Hana yang berbicara dengan suara yang cukup keras.

***

"Gimana Pattar?" Petra bertanya tanpa menoleh pada Hana.

"Tadi aja, sok jual mahal. Sekarang khawatir kan?" Hana mencibir.

Petra hanya terdiam dan tidak mengeluarkan sepatah katapun.

"Dia baik-baik aja. Demamnya sudah turun. Tadi dia cuma mau prank aja. Katanya mau tes seberapa peduli sahabatnya ini."

Petra tidak memberikan respon apapun.

"Setelah Abang keluar, mau tahu apa yang dia tanya?"

Petra tidak menjawab, tapi ia berkali-kali melirik ke arah gadis yang duduk di sampingnya. Ia menuntut jawaban.

"Bang Petra baik-baik aja kan? Sudah setengah tahun gue gak lihat dia."

Petra tidak dapat menyembunyikan senyumannya. Ia memalingkan wajahnya, agar Hana tidak menyadari kalau kini ia bahagia. Satu pertanyaan sederhana dari adiknya ternyata mampu membuatnya sangat bahagia.

***

Zai sengaja tidak langsung kembali ke kamarnya. Ia justru masuk ke kamar Pattar dan duduk di kursi meja belajar milik temannya itu.

"Lo bersyukur gak punya Abang?"

"Gak ada topik lain?" Pattar menghindari tatapan penuh selidik dari laki-laki yang ada di depannya.

"Bukannya kasih senyum, lo malah ngajak ribut. Kalo jadi Bang Petra, pasti gue marah juga kaya tadi. Lo sih pake acara prank segala. Kan jadi panjang masalahnya."

"Wah, gue gak nyangka seorang Zaivan Oktora bisa nge-gas. Lo sudah cocok kalau mau orasi."

"Gue lagi serius. Lo minta maaf sana sama Abang lo. Gue aja merasa bersalah tau gak?" Zai berbicara dengan suara yang lebih keras dari biasanya.

"Lo teman gue atau bukan?" Pattar bertanya dengan nada kecewa.

"Iya, gue teman lo. Tapi, posisi lo sekarang salah. Gue bukan teman yang akan membela lo kalau lo salah. Gue bahkan maju mewakili lo untuk minta maaf. Lo bukan anak kecil lagi, selesaikan masalah lo. Bukan lari dan pura-pura gak tahu." Zai bangkit dari duduknya dan ia melangkah menuju pintu keluar. "Kalau lo mau makan malam, chat gue. Nanti gue beliin, obat lo ada di atas nakas." Zai keluar dari kamar Pattar diiringi dengan suara pintu yang tertutup kasar.

Kata-kata Zai membuat Pattar sakit kepala. Kata-kata itu seperti menyinggung suatu hal lain. Yang ia duga adalah tentang hubungannya dengan kakak laki-lakinya, Petra. 



Terima kasih sudah membaca.

Wah, ternyata hari ini bisa update tepat waktu. Semoga bisa terus update setiap hari, supaya ceritanya bisa selesai. Saat ini, kita sudah menuju pertengahan cerita. Semoga kalian tetap senang ya.

Yak, segitu dulu hari ini. 

Zaivan mode galak.

Zaivan mode galak

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
The Untold Story ✓Where stories live. Discover now