33. Maaf

89 25 0
                                    

Selama 15 tahun mereka bersahabat – belum dikorting masa perang waktu SMA – Pattar dan Hana memang selalu bertengkar. Bukan hal baru bagi mereka untuk berdebat. Akibat dari perang dingin satu tahun lalu, Pattar jadi lebih mengalah. Saat ini ia menganut prinsip berbaik sangka dahulu lalu menghakimi kemudian. Daripada ia harus menderita karena diabaikan oleh sahabatnya, akhirnya ia memutuskan untuk mengunjungi rumah Hana. Ia tadinya berniat mengajak Zai untuk mendinginkan suasana, tapi Zai tidak bisa menemaninya karena harus ikut pengarahan sebelum kepergiannya ke Lombok esok hari.

Laki-laki itu mengenakan kemeja merah kotak-kotak dengan kaus hitam di dalamnya. Ia memasuki halaman rumah Hana dengan motor sport hitamnya. Pattar menebak kalau Hana kini sedang tidur karena ini adalah hari libur. Ia sengaja datang pagi-pagi untuk menjahili sahabatnya itu. Pattar menggetuk pintu keras-keras karena memang tidak tersedia bel di pintu masuk. Saat menyadari tidak ada jawaban, Pattar mengengetuk pintu lebih keras. Senyumnya mengembang ketika mendengar ada suara pintu terbuka.

"Ngapain lo ke sini?" Hana berkata sok galak sambil mengucek matanya, ia kelihatan setengah sadar.

"Mau minta sarapan." Pattar nyengir hingga deretan giginya hampir terlihat semua.

"Gak ada sarapan. Pulang sana lo." Hana berniat menutup pintu.

Pattar menahan pintu agar tidak tertutup, "Hana, maaf soal yang kemarin."

"Soal apa ya?" Hana menjawab masih dengan suara serak khas orang bangun tidur.

"Soal mengabaikan kata-katamu." Pattar menunduk merasa bersalah.

Hana membuka pintu lebar-lebar dan memukul lengan sahabatnya dengan keras, "Makanya, sudah gue bilang tobat lo. Awas mati sebelum tobat."

"Lo ini, gua baru minta maaf sudah didoain mati." Pattar melotot kesal.

"Eh, yang di plastik apaan tuh?" Hana mengalihkan pembicraan setelah melihat sekantung plastik dengan daun hijau yang mencuat keluar.

"Kan gue mau minta sarapan, nah ini bahan-bahannya." Pattar menyerahkan plastik tersebut, kemudian melenggang santai masuk ke rumah.

"Tumben lo modal." Hana berjalan sambil mengecek bahan-bahan yang dibawa oleh sahabatnya.

***

Seusai menghadiri pengarahan relawan di salah satu hotel ternama, Petra memilih tidak langsung pulang ke kosannya. Ia melajukan mobilnya ke arah kampus. Ia berniat bertemu dengan Hana sebelum kepergiannya ke Lombok selama dua bulan. Setibanya di rumah Hana, Petra mengurungkan niatnya untuk masuk. Ia melihat sebuah motor yang ia kenali sudah terparkir di depan rumah itu. Ia akhirnya memutar kendaraannya dan menuju kafe terdekat. Ia memesan ice tea dan sepotong kue rasa vanila. Petra memutar sedotannya berulang kali sebelum akhirnya menelepon seseorang.

"Halo, Ma."

"Halo, Sayang. Kamu dimana sekarang?"

"Di kafe dekat kampus, Ma."

"Sama Orion, Jeff dan Johnny?" Wanita itu terdengar antusias.

"Enggak, Ma. Aku sendirian."

"Loh, kok tumben. Biasanya sama Orion. Oh, iya, kapan kamu pulang? Bukannya ujian sudah selesai."

"Maaf, Ma. Sepertinya aku nggak akan pulang dalam waktu dekat." Petra menghela napas.

"Jadi relawan lagi? Kali ini kemana?" Suara Mama kedengaran kecewa.

"Lombok, Ma. Acaranya 2 bulan. Kalau Mama kangen aku, kan bisa video call." Petra tersenyum mendengar suara Mama yang kedengaran kecewa.

"Berangkat kapan, Sayang?"

"Besok, penerbangan pertama."

"Hati-hati ya, kalau ada apa-apa langsung hubungi Mama."

"Iya, Ma. Mama sudah masuk kerja?"

"Sudah dong. Istirahat itu bukan kata yang cocok buat Mama." Suara tawa terdengar dari seberang sana.

"Kalau lelah, Mama boleh istirahat loh. Mama mau tahu alasan aku memilih untuk ikut kegiatan di Lombok daripada pulang?" Petra bertanya hati-hati.

Tidak ada jawaban dari sana. Petra sempat melihat layar handphonenya untuk memastikan kalau sambungan telepon masih terhubung.

"Mama sudah tahu kan jawabannya? Iya, yang Mama pikirkan itu benar. Jangan buat hubungan aku sama Mama jadi rusak karena pekerjaan. Satu lagi, aku boleh minta sesuatu?"

"Apa, Sayang?" Suara wanita itu bergetar, Petra menebak kalau Mama menangis.

"Ambil cuti satu hari. Kunjungi Pattar di kosan. Aku tebak dia juga enggak akan pulang semester ini. Sudah setahun penuh Mama gak ketemu sama dia. Satu hari aja, kapan lagi kalian bisa punya waktu berdua? Dua bulan, Ma. Aku kasih waktu dua bulan untuk Mama pilih satu hari." Petra mengatakan pendapatnya dengan tegas dan percaya diri.

Kembali tidak ada jawaban dari Mama.

"Maaf, Ma, kalau permintaan aku terlalu berat. Tapi tolong, satu kali ini aja Mama mengalah."

Tidak ada jawaban, hanya hening. Kemudian sambungan telepon terputus tidak lama kemudian.

Terima kasih sudah membaca.
Yak, segitu dulu untuk hari ini. Semoga kalian selalu sehat.

Dwiyata Pattareksa

The Untold Story ✓Where stories live. Discover now