14. Biru

138 52 1
                                    

Pattar berjalan di jalan setapak yang mengarah ke kelasnya. Ia berangkat lebih lama dari sebelumnya karena hari ini ia tidak perlu datang ke rumah Hana. Langkah Pattar sempat terhenti ketika melihat Petra yang masih berada di depan Hana dengan setumpuk kertas yang terlihat seperti poster. Pattar sempat berniat mengubah tujuannya, tapi suara bel masuk membuat Pattar mengurungkan niatnya. Pattar masuk ke kelas melalui lorong yang paling dekat dengan pintu untuk menghindari Hana dan Petra. Pattar berdiri di sudut kelas dan matanya tak lepas menatap Hana dan Petra. Setelah Petra pergi, Pattar duduk di bangkunya. Ia meletakkan tasnya dengan kasar dan mengikat rambutnya asal dengan gelang karet berwarna hitam yang selalu ada di tangan kirinya.

Dino membalikkan badannya dan berbisik, "lagi kesal, Bro?"

"Enggak." Pattar menjawab dengan nada yang tidak ramah.

"Jangan ngambek, lo serem tahu kalo lagi dikucir gitu." Dino masih saja sibuk mengganggu Pattar meski guru mereka sudah memasuki ruangan.

"Balik sana." Pattar mendorong punggung Dino agar ia berbalik.

"Eh iya, Kak Lira sudah hubungi lo belum? Kemarin dia hubungi gue untuk minta nomor lo." Dino menolehkan kepala dan berusaha terus berbincang dengan Pattar.

"Dino Jumantara, kamu mau diam atau keluar dari kelas saya?" Suara dari laki-laki yang mengenakan seragam ASN di depan kelas berhasil membuat Dino terdiam.

Seusai pelajaran, Pattar langsung mengajak Dino untuk pergi ke kantin. Pattar sengaja melewati meja Hana. Ia sempat merapihkan ikatan rambutnya ketika melewati meja Hana. Hana tengah mengelompokkan poster untuk dibagikan ke kelas-kelas, ia tidak begitu memperhatikan Pattar yang lewat di depannya. Begitu pekerjaannya selesai, Hana menoleh ke meja Pattar untuk memberikan bekal makan siang yang telah Bunda siapkan. Tapi yang Hana dapati hanya meja dan kursi yang kosong.

***

Satu minggu telah berlalu, Pattar sama sekali tidak menghubungi Hana dan ia juga tidak mengunjungi rumah Hana. Hal itu sempat membuat Bunda meneleponnya beberapa kali. Pattar beralasan kalau ia tengah sibuk mempersiapkan ujiannya, padahal kegiatan Pattar di rumah hanyalah menggambar di bawah pohon mangga di taman belakang rumahnya. Hari ini Pattar sempat makan bersama Lira, kakak kelas yang tempo hari selalu menghubunginya. Menurut Pattar tidak ada salahnya ia mencari teman perempuan lain selain Hana.

Setelah bel pulang berbunyi, Pattar langsung membawa tas olahraganya keluar dari kelas.

"Lo mau latihan?"

Pattar mengabaikan pertanyaan Hana dan terus berjalan meninggalkan Hana yang tengah menghela napas.

Pattar berganti pakaian, ia mengenakan seragam latihan yang Sion berikan minggu lalu. Ia mengenakan sepatu bolanya dan rambutnya masih terikat sebagian. Pattar langsung bergabung duduk di pinggir lapangan bersama dengan rekan-rekan satu timnya.

"Lo cocok pakai seragam itu." Sion duduk di samping Pattar.

"Karena warnanya biru mungkin?" Pattar tersenyum.

"Kenapa kalau biru?" Sion bertanya karena tertarik dengan jawaban Pattar.

"Kata Hana, warna biru cocok buat gue."

"Kelihatannya lo sangat dekat dengan Hana, dia sampai meneror gue waktu merekomendasikan lo." Sion tertawa kecil.

"Dia sahabat gue dari kecil." Pattar menghela napas diakhir kalimatnya.

"Asal lo tahu, gue sempat cemburu sama lo. Gue suka Hana dari SMP dan dia tahu itu tapi dia langsung menghubungi gue tanpa gue minta dan itu karena lo."

Pattar baru menyadari kalau Hana tulus menghargai keberadaannya. Hana mau berkorban untuknya. Pattar baru menyadari kalau sikapnya selama ini sudah berlebihan. Ia harusnya tidak menghakimi Hana karena pulang bersama Petra. Pattar melepaskan ikat rambutnya kemudian ia bangkit berdiri.

"Lo mau kemana?" Sion ikut berdiri.

"Gue harus ketemu Hana untuk minta maaf."

"Itu Hana." Sion menunjuk Hana yang tengah berjalan berdampingan dengan Petra.

Pattar batal menghampiri mereka. Kakinya terasa berat untuk melangkah. Tangannya terkepal dan matanya terus memandang kedua sosok yang bergerak semakin jauh dari pandangannya.

"Gak jadi samperin Hana?" Sion menyenggol lengan Pattar.

"Mungkin nanti setelah latihan." Pattar kembali duduk di atas rumput.

"Lo gak enak sama pacar Hana yang juga abang lo?" Sion memelankan suaranya.

"Pacar?" Pattar memastikan apa yang baru saja ia dengar.

"Petra itu pacar Hana, lo gak tahu? Lo kira kenapa gue menyerah sama Hana, jelas karena dia sudah punya pacar." Sion menjelaskan masih dengan suara pelan.

Pattar terdiam. Ia tak mampu berkata-kata. Kenyataan yang ia hadapi terlalu mengejutkan.

Pattar menghabiskan waktunya dengan terus menendang bola ke arah gawang tanpa kiper. Semua rekan satu timnya sudah pulang sebelum matahari tenggelam. Pattar tetap melakukan kegiatannya hingga langit biru menghilang dan digantikan dengan gelap malam. Suara gemuruh meramaikan luapan emosi yang kini ia lampiaskan pada bola-bola yang terus ia tendang sekuat tenaga. Gerimis mulai menetes saat Pattar menggiring bola dari tengah lapangan, air hujan menghantamnya semakin keras. Pattar tidak menghentikan langkahnya, ia malah mempercepat larinya dan akhirnya ia mencetak gol. Setelah kulit bundar itu melewati garis gawang, Pattar merebahkan dirinya di atas lapangan dan menikmati hujan yang menyerangnya tanpa ampun. 



#30daywritingchallenge #30DWCJilid24 #Day18

The Untold Story ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang