19. Pohon Mangga

149 47 2
                                    

Untungnya taman itu sepi. Semua orang tengah sibuk mengikuti acara di dalam aula. Jika orang lain melihat kondisi Hana, Pattar pasti sudah dituduh sebagai pelaku dari menangisnya Hana. Pattar merasa bersalah, ia menatap Hana prihatin. Setelah Hana cukup tenang, akhirnya mereka memutuskan untuk pulang ke rumah. Karena takut membuat Bunda khawatir, Hana memilih pulang ke rumah Pattar.

Mereka duduk berdampingan di bawah pohon mangga yang berada di taman belakang rumah Pattar. Mereka memilih sisi yang menghadap ke bagian belakang rumah. Rumput pada bagian itu tumbuh rapi karena memang tempat itu mendapatkan perhatian khusus dari tukang kebun. Pattar sering menggunakan lokasi itu untuk menggambar.

"Sesayang itu lo sama Sion?" Pattar berbicara tanpa melihat wajah Hana.

"Gue gak tahu, yang jelas sekarang gue benar-benar merasa bersalah."

Pattar menyadari suara Hana yang bergetar, "Maaf, ini semua karena gue."

"Lo gak salah apapun. Gue yang gak bisa membedakan yang mana sahabat dan mana pacar gue. Gue benar-benar gak sadar sudah menyakiti Sion." Hana menunduk dalam.

Pattar tidak mampu membalas kata-kata Hana. Ia menimbang-nimbang, apakah ini saat yang tepat untuk bertanya tentang hubungan Hana dan Petra? Apakah Hana benar-benar hanya menganggapnya sebagai sahabat? Akhirnya Pattar hanya diam dan tetap duduk di samping Hana tanpa mengatakan apa yang ada di kepalanya.

Mereka diam dan menjelajahi pikiran masing-masing. Pattar dengan segala pertanyaan di kepalanya dan Hana dengan penyesalannya. Tanpa mereka sadari, seseorang menatap mereka dari kejauhan.

Petra berdiri di balkon kamarnya yang menghadap taman belakang. Sebelumnya ia tengah membaca buku di balkon, namun perhatiannya teralihkan ketika melihat adiknya dan Hana duduk di bawah pohon mangga yang dulu mereka tanam bersama. Petra tersenyum melihat dua orang yang ia sayangi akhirnya dapat berdamai. Tapi ada sesuatu yang mengganggu Petra, perasaan aneh yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia merasa mulai hari ini mungkin Pattar akan merebut posisinya sebagai pendengar cerita Hana.

***

Satu jam kemudian, Hana bangkit dari duduknya dan menarik rambut palsu Pattar untuk membuatnya berdiri. "Gue laper, ayo makan."

Pattar berdiri danmembersihkan bagian belakang jubahnya, "Gue kira lo mau duduk di sini sampe sore." 

Hana tersenyum pahit, "Galaunya lanjut nanti aja. Gue perlu makan, biar bisa berpikir." 

Pattar berjalan memimpin Hana memasuki rumah. Ia melewati ruang makan dan langsung menuju sudut dapur. Ia berhenti di depan kulkas kemudian membuka pintunya.

"Telur dadar?" Pattar mengangkat sebutir telur dan menunjukkannya pada Hana.

"Boleh. Lo yang masak ya?" Hana bergerak mengikuti Pattar yang berjalan menuju kompor.

Pattar sibuk mengocok beberapa butir telur yang sudah ia tambahkan garam dan irisan tipis bawang merah. Suara desis dari telur yang tengah digoreng membuat Pattar sempat tidak memperhatikan Hana.

"Mau ngapain di situ?" Pattar bertanya pada Hana yang berjongkok di sampingnya.

"Mau nemenin lo, tapi capek berdiri." Hana menjawab dengan nada kesal.

Pattar tersenyum. Wajahnya memerah, bukan karena ia berada di depan kompor tapi karena kata-kata Hana seperti memiliki arti lain untuk Pattar.

Pattar menyajikan telurdadar yang sudah dihiasi oleh saus tomat di atas meja makan. Ia mengambil nasi dan tak lupa mendekatkan kecap dengan piring Hana. Pattar memperhatikan perubahan wajah Hana ketika mengunyah telur hasil karyanya. Degup jantungnya berubah cepat ketika Hana mengerutkan dahi.

"Sudah gue duga, masakan lo enak. Mirip masakan Papa." Hana tersenyum sambil mengangkat kedua jempol tangannya.

"Karena gratis, jadi enak." Pattar menjawab dengan nada datar, tapi diam-diam ia tersenyum.

"Kenapa nih bawa-bawa Papa?"

Hana langsung berdiri ketika menyadari kehadiran Papa di ruang makan. Ia beranjak dari kursinya untuk menyapa Papa sahabatnya. Hana memeluk Papa singkat dan mencium punggung tangan pria yang masih menggunakan setelan jas lengkap itu.

"Papa apa kabar?" Hana bertanya antusias.

"Baik. Kenapa anak gadis Papa gak pernah main ke sini lagi?" Papa menepuk pelan puncak kepala Hana.

"Itu...hm..." Hana menautkan jari-jarinya dan mentap ke arah lain.

"Kemarin aku cuti jadi teman dia, Pa." Pattar menjawab santai.

"Oh, cuti jadi teman berarti statusnya berubah jadi pacar?" Papa bertanya dengan nada jahil.

Pattar yang tengah mengunyah makanannya tersedak. Ia batuk hingga membuat Hana mengambil gelas yang ada di depannya untuk diberikan pada Pattar.

"Oh, jadi benar. Wah, sudah putus dong berarti? Ini Hananya sudah mau main ke sini."

Pernyataan Papa membuat Hana dan Pattar saling berpandangan. Hana menatap Pattar menuntut penjelasan. Pattar berusaha menenangkan diri dan berniat menjawab pertanyaan Papa, tapi ia dibuat bungkam karena Papa langsung menyambung kata-katanya.

"Kalo gak jadi sama Pattar, kamu sama Petra aja," Hana terbatuk mendengar pernyataan Papa, "dia baik loh, anak kedokteran lagi. Pokoknya pilih salah satu lah. Papa sudah pesan kamu jadi mantu soalnya." Setelah menyelesaikan kalimatnya, Papa berjalan meninggalkan ruang makan dan meninggalkan Hana yang masih terkejut dan Pattar yang masih menganga tidak percaya. 

The Untold Story ✓Where stories live. Discover now