34. Rumah

154 28 4
                                    

Pattar sudah menghabiskan waktu seminggu penuh untuk mengikuti persiapan ospek mahasiswa baru di kampusnya. Ia sengaja memilih menyibukkan diri agar punya alasan untuk tinggal di kos. Papa beberapa kali menelepon untuk menanyakan kapan Pattar pulang. Semester lalu, ia beralasan sibuk mengerjakan proyek bersama Zai.

Ia baru saja memasang helm dan siap mengendarai motornya ke kampus saat sebuah panggilan masuk. Ia membeku dan menatap handphonenya tidak percaya.

"Halo." Pattar mengangkat panggilan itu setelah dua panggilan tidak terjawab.

"Lo dimana?" Suara yang sangat ia kenali terdengar.

"Di kosan. Kenapa?" Pattar menduga kalau telepon itu pasti penting.

"Lo bisa pulang sekarang?" Suara itu kedengaran panik.

"Gue ada rapat di kampus."

"Mama pingsan dan sekarang dirawat di rumah sakit. Gue di Lombok dan gak bisa pulang secepat lo. Gue..."

"Tenang, gue balik sekarang."

"Thanks. Gue titip Mama." Petra menghela napas lega.

"Lo nggak perlu berterima kasih, dia juga Mama gue." Pattar memelankan suaranya, ia terdengar sedih.

"Oke. Hati-hati, jangan panik."

"Jangan bercanda, lo yang kedengaran panik." Pattar tertawa pelan.

"Thanks."

"Sudah gue bilang, nggak perlu."

"Karena lo sudah ketawa."

Pattar jadi salah tingkah. Wajahnya memerah karena kata-kata saudaranya. Akhirnya ia mengakhiri sambungan telepon itu setelah mengatakan sama-sama. 

***

Pattar mengurungkan niatnya pergi ke kampus, ia langsung memesan tiket pesawat dan menuju ke bandara. Setelah penerbangan, ia langsung menuju rumah sakit. Begitu ia masuk ke rumah sakit, ia langsung dihantam oleh kenangan masa kecilnya.

Lorong rumah sakit pada malam hari adalah salah satu yang paling menakutkan bagi Pattar. Ia kelihatan baik-baik saja karena Petra ada di sampingnya dan menggenggam tangannya erat. Mereka berjalan di belakang seorang perawat.

"Bang, aku gak mau jadi dokter."

"Kenapa? Kan Mama mau kita berdua jadi dokter. Jadi dokter itu keren tahu. Lihat deh itu." Petra menunjuk salah satu dokter yang berpapasan dengan mereka.

"Tapi, di jasnya ada darah." Pattar merapatkan tubuhnya ke arah Petra.

"Kan namanya rumah sakit. Orang berdarah karena sakit."

Pattar tidak menjawab dan mempererat genggamannya. Mereka memasuki sebuah ruangan kosong. Mereka diminta menunggu di ruangan yang katanya ruangan Mama. Asisten rumah tangga mereka tiba-tiba harus pulang kampung dan Papa sedang dinas ke luar kota, terpaksa supir mereka harus mengantar mereka ke rumah sakit tempat Mama bekerja.

Sesaat setelah tiba, Pattar sudah menghubungi Papa untuk memastikan kondisi Mama, tapi sayang, Papa justru berada di luar negeri saat ini. Ia berjalan ragu-ragu ke salah satu perawat yang berdiri di balik meja.

"Maaf, dokter Vina di mana ya?"

"Untuk saat ini dokter Vina sedang tidak menerima pasien untuk konsultasi, saya akan informasikan jadwal berikutnya. Silahkan mengisi formulir."

Pattar jadi kikuk, "Maaf, saya mau bertanya, dokter Vina dirawat di kamar nomor berapa?"

Perawat tersebut cukup terkejut. Ia menatap laki-laki dihadapannya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Laki-laki dengan kaus hitam, jaket hitam dan rambut yang diikat itu merasa tidak nyaman.

"Saya dengar, dokter Vina pingsan saat bertugas. Saya keluarganya."

"Maaf, tapi kalau boleh tahu, anda anaknya?" Perawat itu kembali menatap Pattar tidak percaya.

Pattar enggan menjawab pertanyaan itu. Ia malah menatap balik perawat tadi. Ia memanggil salah satu rekannya dan membisikkan sesuatu.

"Kamar nomor 161 A."

"Terima kasih." Pattar buru-buru pergi dari tempat itu.

Ia sempat mampir ke toko bunga yang ada di lantai paling bawah rumah sakit. Ia membeli beberapa tangkai bunga mawar merah dan meletakkannya di vas bunga dekat Mama yang masih berbaring tak sadarkan diri. Ia menatap wajah pucat dengan beberapa keriput di dekat matanya dengan tatapan sendu. Seorang perawat masuk dan membawa infus baru.

"Kamu Petra? Kelihatannya kamu banyak berubah." Perawat tadi menyapa dengan ramah sambil mengganti infus.

"Saya Pattar, adik Petra."

Perawat tadi sempat terkejut seperti melihat hantu.

"Saya memang berbeda dengan Petra." Pattar menatap dengan tatapan datar.

"Maaf, bukan itu maksud saya. Saya benar-benar nggak menduga kalau kamu akan datang. Dokter Vina sering cerita tentang anaknya yang suka bertualang dan mengotak-atik mesin, tapi saya nggak menduga akan ketemu langsung."

"Mama cerita tentang saya?" Laki-laki dengan rambut yang diikat itu hampir berdiri dari duduknya.

"Setiap ada kesempatan. Kalau Petra kan sering main ke rumah sakit, jadi kita nggak penasaran."

Pattar tidak bertanya lebih lanjut. Kini ia menyesali penampilannya. Seharusnya ia mengenakan pakaian lebih rapi. Bukannya malah langsung ke bandara dengan pakaian yang seharusnya ia gunakan ke kampus.

"Kamu jangan pergi sebelum dokter Vina bangun, loh. Beliau kangen banget sama kamu tapi katanya kalian nggak bisa dekat. Semangat ya. Terima kasih sudah datang."


Terima kasih sudah membaca.

Kita berjalan menuju akhir. Semoga kalian selalu sehat yaa. 

Oh, iya. Aku baru berencana publikasi cerita baru nih, tentang Zaivan. Tungguin yaa. 


The Untold Story ✓Où les histoires vivent. Découvrez maintenant