6. Bunda

183 67 2
                                    

Pattar dan Hana menghabiskan waktu istirahat bersama. Hana membawa dua potong roti lapis buatan Bunda dan ia membagi salah satu roti lapis itu dengan Pattar. Mereka duduk berdampingan, Hana banyak bercerita mengenai pengalamannya saat SMP dan Pattar mendengarkan dengan semangat. Sesekali Hana menanyakan sekolah lama Pattar dan kabar Nenek. Waktu istirahat terasa sangat cepat karena diisi dengan cerita dan canda tawa. Setelah bel masuk berbunyi, Hana kembali duduk ke bangkunya.

Bel tanda pelajaran selesai berbunyi, Pattar buru-buru menghampiri Hana yang masih sibuk memasukkan buku ke dalam tasnya.

"Lo balik sama siapa?" Pattar berdiri di depan meja Hana.

"Balik sama angkot." Hana menarik ritsleting tasnya yang dihiasi gantungan kunci doraemon.

"Balik sama gue aja." Pattar tersenyum melihat gantungan kunci yang ada di tas Hana. Gantungan itu adalah hadiah terakhir yang Pattar berikan sebelum ia pindah ke rumah Nenek.

"Lo bawa helm berapa?" Hana berdiri menatap Pattar dengan kepala mendongak.

"Satu." Pattar menjawab dengan jujur.

Hana berdecak kemudian memukul pelan lengan Pattar, "Lo bawa satu helm dan mau ajak gue pulang bareng? Kalo mau ajak pulang bareng tuh, bawa helm dua."

Pattar tersenyum yang menghasilkan cengiran mirip kuda, "kan tadi pagi gak tahu kalau bakal pulang bareng lo."

"Sudah deh gue naik angkot aja. Nanti lo main aja ke rumah. Bunda sama Reva pasti senang ketemu lo." Hana menyampirkan salah satu tali ransel pada pundak kanannya kemudian ia mulai berjalan ke luar kelas.

"Boleh nih gue main ke rumah?" Pattar berjalan mundur di depan Hana.

"Boleh dong, Bunda tuh kangen banget sama lo." Hana menarik tanggan Pattar agar ia berjalan searah dengannya. "Sana ke parkiran. Gue tunggu di rumah."

Pattar tersenyum dan mengangkat tangan kanannya membentuk posisi hormat, "siap bos."

***

Pattar pulang ke rumah untuk mengganti seragamnya dengan pakaian santai. Pattar mengenakan kaus hitam dengan jeans yang senada dengan atasannya. Rumah Hana terletak tidak jauh dari rumah Pattar jadi ia memutuskan untuk berjalan kaki dari rumahnya. Matahari masih terasa cukup panas meski Pattar tengah mengenakan topi di kepalanya. Pattar tiba di rumah yang dulunya sering menjadi tempat pelariannya. Sebuah rumah yang memberikan arti rumah sesungguhnya untuk Pattar.

Tampilan rumah Hana tidak banyak berubah dari yang Pattar ingat. Halamannya masih hijau dan seluas dulu. Cat pada pagar sudah mulai mengelupas dan berkarat. Pagar itu menimbulkan suara saat Pattar mendorongnya. Pattar tersenyum melihat lingkaran-lingkaran semen yang sengaja dibentuk menyerupai potongan batang pohon yang berbaris. Tempat itu dulu sering digunakan Pattar dan Hana untuk bermain, melompat dari dari lingkaran satu ke lingkaran lainnya. Pattar mengetuk pintu besar berwarna putih di depan rumah Hana. Tidak ada jawaban. Pattar mengetuk pintu tersebut lebih keras. Sejak dulu rumah Hana memang tidak memiliki bel karena kata Bunda rumah mereka tidak sebesar rumah Pattar hingga membutuhkan sebuah bel. Karena tak kunjung mendapat jawaban akhirnya Pattar berniat menelepon Hana. Pattar batal menelepon Hana karena pintu tiba-tiba dibuka.

"Maaf cari siapa?" Seorang gadis dengan tinggi yang hampir sama dengan Pattar berdiri di sela-sela pintu.

Pattar tersenyum, ia mengenali gadis yang berdiri di hadapannya. Gadis ini pasti Zareva Virena, adik Hana yang selalu merengek ikut ketika Hana pergi bermain ke rumah Pattar.

"Halo, cari siapa ya?" Reva mengibaskan tangannya di depan wajah Pattar.

"Hana ada?" Pattar tersenyum.

"Kak, ada tamu nih." Reva berteriak dengan kencang, padahal Pattar ingat betul kamar Hana terletak tidak jauh dari pintu depan. "Silahkan masuk."

Pattar melangkahkan kakinya masuk ke rumah Hana. Baru dua langkah ia memasuki rumah tersebut, Pattar langsung disambut dengan sebuah pelukan hangat. Reva dibuat tercengang karena melihat Bunda berlari dan memeluk Pattar.

"Pattar, Bunda kangen banget sama kamu." Bunda mengeratkan pelukannya.

Pattar menyentuh punggung Bunda dan ikut merengkuh Bunda dalam. Pelukan tulus seorang ibu yang sudah lama Pattar rindukan. Setelah kembali, bahkan Mama belum pernah memeluknya. Meskipun Bunda adalah ibu dari sahabatnya namun Pattar dapat merasakan ketulusan Bunda. Air mata Pattar hampir saja jatuh, rasanya pertahanannya hampir saja jebol.

Bunda melonggarkan pelukannya dan menangkup wajah Pattar dengan kedua tangannya, "Kamu sehat, Nak?"

"Sehat, Bun. Bunda kelihatan awat muda, masih secantik dulu." Pattar menjawab sambil menyentuh salah satu tangan Bunda yang masih ada di wajahnya.

Bunda kembali menarik Pattar dalam pelukannya. Bunda melepaskan pelukannya setelah beberapa saat. "Kamu mau makan apa? Nanti Bunda masakin. Kamu makan malam di sini aja ya. Nanti Bunda telepon Mama kamu."

"Semua masakan Bunda aku suka kok." Pattar tersenyum melihat Bunda yang terlihat sangat bahagia.

Pattar tersenyum namun ia juga penasaran respon seperti apa yang akan ditunjukkan Mama jika mengetahui Bunda memasak makanan spesial untuk kepulangan Pattar. Tapi sepertinya hal itu tidak akan mempengaruhi Mama, Pattar bukan siapa siapa jadi tidak akan ada bedanya Bunda meminta izin pada Mama atau tidak.

"Maaf, tadi lagi panggilan alam." Hana keluar dari kamar yang pintunya menghadap ruang tamu.

"Kakak melewatkan adengan lebay Bunda sama Bang Pattar." Reva tengah duduk di samping Pattar sambil memainkan hanphonenya.

"Memang Bunda kenapa?" Hana menatap Pattar penasaran.

"Begitu Abang datang, Bunda langsung lari dari dapur terus peluk-peluk. Rasanya nonton sinetron tahu." Reva menggelengkan kepalanya dengan mata yang terus menatap handphone.

"Pattar kan emang anak kesayangan Bunda. Coba kalo kamu laki-laki, Bunda gak bakal sesayang itu sama Pattar." Hana meledek Reva yang tengah sibuk dengan handphonenya.

Sejak kecil Bunda memang menginginkan anak laki-laki, jadi wajar saja Bunda sangat senang Pattar pulang. Sebenarnya Petra juga sering berkunjung ke rumah Hana tapi Petra memiliki kepribadian yang tenang dan cenderung tidak peduli, sedangkan Pattar selalu menunjukkan sisi manjanya pada Bunda. Jadi, Bunda lebih dekat dengan Pattar. Kadang Hana sampai marah karena cemburu pada perhatian Bunda untuk Pattar. Bahkan Hana kecil pernah mengamuk sampai mengancam Bunda untuk memilih antara Hana atau Pattar hanya karena masalah sepele.

#30daywritingchallenge #30DWCJilid24 #Day8

The Untold Story ✓Where stories live. Discover now