Iringan 23 : Alufiru

386 71 53
                                    

Sita

Gue selalu menghindari nama kontak yang sama selama hampir sepuluh hari, baik itu pesan mau pun telepon. Namun, di sore menjelang malam ini, gue yang selalu menghindari telepon atau pesan darinya malah menelepon dia terlebih dahulu.

Setelah tiga kali gue hanya membuka dan menutup kontak bertuliskan Ayres di sana, akhirnya gue memberanikan diri untuk meneleponnya. Jika bukan karena Wira yang enggak kunjung membaca DM Instagram gue, nampaknya gue enggak akan mungkin menelepon Ayi hari ini. Terlebih gue enggak tahu siapa orang terdekat Aira selain Wira.

Ayi tahu kalau gue akan bicara serius sehingga dia enggak mengeluarkan sepatah kata pun terlebih dulu.

"Ayi, kamu udah balik ke kosan belum? Kalau iya, Wira ada di kosan juga gak?"

"Udah nih, aku udah balik daritadi. Wira juga udah balik kayanya."

Gue selalu suka bagaimana Ayi tetap bisa membicarakan hal urgent di saat posisi kita lagi berantem kaya gini. Ini juga bukan pertama kalinya gue dan Ayi harus membicarakan hal penting di saat gue dan dia lagi berantem.

"Ada apa, Ta?" Suara Ayi terdengar lagi.

"Tolong kasih tahu Wira ya, Ayi. Ini Aira kecelakaan, jatuh dari motor. Tapi, aku gak bisa anter Aira pulang."

"Aku udah janji mau jenguk Ara, takut jam besuknya keburu selesai kalau anter Aira dulu. Aku juga enggak enak kalau enggak jadi dateng, udah janji sama Ara."

"Di rumah sakit mana, Ta? Ini aku jalan ke kamar Wira, ya."

Pasti akan ada orang yang tanya kaya gini ke gue, "Gak gengsi itu berhari-hari sengaja hindarin telepon, tapi sekarang malah telepon duluan?"

Untuk situasi kaya gini, gengsi cuma mempersulit keadaan aja.

Sejujurnya gue pun enggak tahu harus ngomong apa bila menjawab telepon Ayi, chat-nya pun hanya gue baca. Selama itu, gue selalu berpikir apa yang sebaiknya gue lakukan dan apa yang harus gue bicarakan. Namun, gue enggak kunjung mendapatkan jawabannya. Sehingga gue menganggap bahwa menghindar adalah cara terbaik saat ini. Walau gue tahu kalau cara itu sama sekali enggak baik.

Gue juga enggak menyangka bisa bertemu Aira di jalan dengan situasi dan kondisi seperti ini. Gue yang awalnya tengah dalam perjalanan ke rumah sakit tempat Ara dirawat karena tipes sedikit kaget saat melihat ada dua motor jatuh.

Awalnya gue hanya mau menunggu sampai motor itu dipindahkan dan enggak menghalangi jalan, tetapi setelah dilihat lagi, gue mendapati sosok cewek yang enggak asing. Akhirnya gue turun dari mobil dan meminta tolong supaya ibu-ibu itu gue aja yang anter ke rumah sakit bersama dengan Aira.

Gue kira Wira hanya akan datang sendirian, tapi ternyata enggak. Gue mendapati Ayi juga ikut datang bersama Wira.

Setelah gue memastikan semuanya beres termasuk Ibu-Ibu yang tadi sempat pingsan dan juga Wira yang memastikan Aira bisa berjalan, Ayi tiba-tiba bersuara.

"Ra, lo enggak apa-apa kan balik sama Wira doang?"

Gue menghela napas ketika tahu maksud tujuan Ayi bicara demikian. Toh percuma gue menghindar karena pada akhirnya kita harus tetap menyelesaikan masalah yang ada.

Mengingat gue juga udah bilang ke Ayi kalau gue harus buru-buru untuk jenguk Ara, gue yakin kalau Ayi enggak mungkin bertele-tele dan hanya membuat kita kembali bertengkar.

"Makasih ya Kak Sita, maaf ngerepotin."

Gue tersenyum padanya. "Gak apa. Santai aja, Ra."

Akhirnya hanya tersisa gue dan Ayi di parkiran rumah sakit. Selama beberapa saat kita cuma diam, enggak ada satu pun suara yang terdengar.

Soundtrack: Dusk and DawnWhere stories live. Discover now