Iringan 17 : Senja

464 83 41
                                    

Sita

Gue duduk terdiam di bangku transjakarta dengan masker berwarna kuning menutupi hidung dan mulut gue. Memakai topi baseball hitam dan juga menyumpalkan headset di kedua telinga gue. Menyetel lagu dengan cukup keras sehingga gue jadi sulit mendengarkan suara orang lain. Bahkan, gue enggak tahu sekarang lagi berhenti di halte mana.

Gue memejamkan mata sejak duduk di dalam kendaraan besar ini yang syukurnya kosong. Mengubah hp gue menjadi mode hening dan mengabaikan semua pesan dan juga telepon yang masuk.

Papi selalu bilang sama tiga anaknya,

"Hidup itu harus punya tujuan, kalian harus tahu tujuan hidup kalian. Jadi kalian tahu harus berusaha untuk apa. Ketika kalian berhasil gapai tujuan itu, kalian akan ngerasa hidup kalian berharga dan enggak akan kecewa terhadap diri sendiri."

Kak Yasa yang jauh lebih dewasa dibandingkan gue dan Saga tentunya langsung mengerti maksud Papi, sedangkan gue dan Saga cuma planga-plongo waktu itu. Gue dan Saga berpikir keras sambil membayangkan, iya ya tujuan hidup kita apa?

Setiap Papi bilang itu, Mami juga enggak akan lupa untuk bilang,

"Tapi enggak sedikit orang yang belum tahu tujuan hidupnya apa. Gak apa kok, gak apa kalau belum tahu tentang tujuan hidupnya. Sebagian orang yang belum punya tujuan hidup enggak mengartikan diri mereka gak layak dan gak berharga."

Papi sama Mami selalu punya caranya sendiri untuk menjelaskan sesuatu pada anak-anaknya. Lalu biasanya penjelasan Papi sama Mami selalu bertentangan, contohnya kaya tujuan hidup. Namun, pada akhirnya Papi sama Mami akan selalu punya satu konklusi yang sama,

"Iya, hidup memang harus punya tujuan. Cuma ketika kita sendiri enggak tahu apa tujuan hidup kita, gak apa. Jalanin pelan-pelan aja, jalanin aja yang ada di depan, tapi jangan lupa untuk berusaha kasih yang terbaik."

Melihat Kak Yasa yang akhirnya kerja di perusahaan yang sangat Kak Yasa idamkan sejak SMA. Lalu Kak Kendra yang juga kerja di perusahaan yang menggaji fresh graduate-nya aja dengan nominal fantastis. Namun, beberapa tahun kemudian keluar dan memilih berjuang ulang dari nol bangun Ragastara bareng Kak Valen, gue jadi sadar.

Yang udah punya tujuan hidup dari dulu aja bisa berubah di tengah jalan, gimana yang enggak punya?

Selalu dididik dengan dua sudut pandang yang berbeda dari Papi sama Mami, tetapi akan ada satu konklusi di akhirnya, Kak Yasa, gue, dan Saga selalu berpikir keras tentang tujuan hidup. Lalu pada akhirnya Kak Yasa, gue, dan Saga selalu punya satu prinsip yang sama,

"Yaudah kalau belum tahu tujuan hidup, jalanin aja yang ada di depan mata. Enggak punya tujuan hidup bukan berarti jadi seseorang yang worthless.

Jalanin aja terus, tapi jangan lupa sambil jalan terus itu tetap harus berusaha dan berjuang sampai akhirnya kita tahu tujuan hidup kita sendiri."

Gue yang selalu memegang prinsip itu benar-benar berbanding terbalik dengan Ayi. Dia dan segala pikiran rumitnya yang enggak pernah bisa gue pahami walau udah kenal dia delapan tahun. Ayi takut akan hari esok dan masa depannya.

Sama, gue juga takut. Siapa sih yang enggak takut sama masa depannya sendiri? Terlebih kita hidup gini-gini aja, enggak spesial.

Ya, kecuali kalau Papi Mami yang punya perusahaan gede macam Deffoma Group gitu. Mungkin gue enggak akan sepusing itu mikirin masa depan. Yang tiap malam lebih memusingkan profit dibandingkan kaya Mami yang lebih memusingkan mau masak apa buat menu makan besok.

"Hahh ...." Dada gue benar-benar terasa sesak.

Sekuat tenaga gue mencoba untuk menahan air mata pun pada akhirnya enggak ada guna. Air mata gue enggak kunjung berhenti yang ada malah makin deras. Gue enggak membayangkan gimana gue enggak pake topi, udah dilihatin kali atau jangan-jangan malah ditanya gue sakit apa.

Soundtrack: Dusk and DawnWhere stories live. Discover now