Iringan 10 : Luka

555 97 37
                                    

Setelah aksi bongkar membongkar aib gue, kita berdua akhirnya rebahan di kasur. Gue jelas tiduran di kasur bawah dan pakai selimut yang gue bawa sendiri dari kamar. Gian bahkan kaget pas tahu kalau gue benar-benar mau tidur di kamarnya malam ini.

"Bang," panggil Gian.

"Hmmm."

"Lo udah tidur?"

"Belum, ada apa?" Gue langsung bangkit dan menatap Gian yang menatap balik gue dengan ekspresi kaget.

"Enggak ada apa-apa, Bang. Udah lo tiduran aja, gue udah mendingan banget kok, Bang."

"Syukur deh, Gi," sahut gue kemudian merebahkan tubuh gue lagi di kasur.

Gue menatap langit-langit kamar Gian. Memori gue terputar kembali akan pertemuan gue dengan Gian waktu gue disuruh jadi kakak asuhnya. Awalnya gue pernah mikir gini,

Gila, gue enggak paham sama panitia yang urusin maba, bisa-bisanya kasih ini anak ke gue?

Juteknya Gian udah terkenal seantero kampus ditambah semua orang tahu gue tipe yang enggak mau ambil ribet. Makanya, pas diminta jadi leader Antares, gue langsung minta maaf dan tolak permintaan itu mentah-mentah.

"Bang, orang tua cerai tuh gimana rasanya?" tanya Gian dengan suara pelan, sangat pelan. Mungkin Gian enggak enak hati bertanya soal itu pada gue.

Gue kira awalnya pas dapat nama yang dikasih panitia, gue enggak akan get along with Gian, tapi ternyata enggak. Di awal pertemuan, kita cuma saling tukar nama dan gue mendapat satu fakta kalau dia jago main drum. Yaudah, gue tawarin aja gabung sama Antares.

"Rasanya?" Gue menerkah.

"Maaf Bang kalau lo tersinggung," sahut Gian cepat.

"Lo kenapa sih Gi minta maaf mulu. Gue enggak tersinggung kok, hanya aja gue enggak bisa menjelaskan rasanya."

Semakin lama mengenal Gian, terkadang gue menemukan beberapa kemiripan antara diri gue dan juga dirinya.

Bertemu dengan teman-teman yang mengisi hidup gue di perkuliahan ini membuat gue bersyukur dan berarti.

Gue berusaha memahami keempat teman gue. Yang tentunya sudah gue lakukan lebih dulu tentang Leo karena kita udah kenal sejak SMA. Cowok super santai soal teman, tapi benar-benar menjadi berbeda terhadap orang yang disayangi.

Mengenal Brian karena di hari pertama dia pindah ke kosan, ember gue harus hilang karena ulahnya. Lalu akhirnya gue memahami Brian tentang keluarga dan juga hubungannya yang kandas sehingga membuat dia cukup trauma menjalin hubungan.

Mengenal Wira yang selalu bisa membuat cair suasana. Hingga memahami dirinya yang entah memang belum bisa move on atau sebenarnya denial terhadap perasaannya saat ini.

Dan juga mengenal Gian. Yang akhirnya gue bisa memahaminya dan juga sikapnya terhadap orang lain. Gue merasa diri kita cukup mirip ketika tahu bahwa orang tua Gian juga sebelas dua belas kaya Bokap Nyokap gue walau beda kisah.

Sehingga gue memutuskan untuk menumpang tidur di kamarnya malam ini. Karena sediam apa pun Gian, gue tahu dia butuh teman cerita tentang keluarganya. Well, Gian punya Adhis sih, dia bisa cerita sesuka hatinya ke Adhis.

Hanya aja, gue dan Gian, we have same shit. Jadi mungkin sinyalnya bisa lebih nyambung kalau Gian berkenan cerita ke gue.

Gue akhirnya mendudukkan tubuh gue di kasur. Mengambil bantal kemudian menyenderkannya ke tembok supaya bisa menjadi sandaran pas gue duduk.

"Gi, lo tahu kenapa Sita bilang gue juga kaya mau ikut pingsan pas tahu kabar lo?" Suara gue mengudara di kamar Gian.

"Mana ada, Kak Sit pasti bercanda kan?" tanya Gian balik. Dia bahkan itu duduk sambil menyandarkan tubuhnya di head board kasur.

Soundtrack: Dusk and DawnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang