Iringan 11 : Lara

503 97 53
                                    

"Ah, gue belum jawab pertanyaan lo ya, Gi?"

Gue tertawa pelan ketika sadar pertanyaan awal Gian malah belum terjawab sama sekali.

"Gue enggak tahu, Gi. Dan gue juga enggak mau tahu alasannya," sahut gue.

Gue dan Kak Aci enggak tahu alasan Bokap Nyokap cerai. Kita juga enggak mau tahu apa alasannya. Eyang juga paham sehingga enggak pernah bercerita tentang alasan Bokap Nyokap cerai.

Dua minggu setelah gue dan Kak Aci akhirnya tahu Bokap Nyokap enggak jemput kita karena cerai, Bokap datang ke rumah Eyang. Menanyakan kabar gue dan Kak Aci, lalu bertanya pada kita berdua mau gak tinggal sama dia.

"Enggak ah Pa, enakan di rumah Eyang." Gue masih inget seberapa santainya gue jawab pertanyaan Bokap waktu itu.

"Kalau Ayi enggak mau, aku juga enggak mau, Pa. Aku mau bareng-bareng sama Ayi," tambah Kak Aci.

Nyokap juga tanya, tapi lewat telepon dan gue menjawab hal yang sama seperti yang gue lontarkan pada Bokap. Begitu juga Kak Aci ketika Nyokap tanya mau gak tinggal sama Nyokap. Biasanya, dapat kabar Nyokap karena gue atau Kak Aci chat-an aja.

Setahun setelah cerai, Bokap nikah lagi sama mantannya pas sekolah. Karena Bokap anaknya Eyang, jadi gue dan Kak Aci lebih sering tahu kabar Bokap ketimbang Nyokap.

Dua setengah tahun setelah cerai, Nyokap juga nikah lagi. Kalau enggak salah sih suaminya itu pernah jadi klien Nyokap, tapi kita enggak tahu orangnya kaya gimana selain dari foto aja. Kita diundang ke acara nikahnya, tapi gak datang. Bukan karena kecewa atau sakit hati, tapi karena resepsinya jauh coy, di Bali.

Waktu itu Nyokap udah menyiapkan semuanya kalau gue dan Kak Aci mau datang. Cuma ya jaman itu gue baru masuk SMA, Kak Aci juga baru masuk kerja, jadi agak ribet untuk berpergian jauh dadakan. Sehingga gue dan Kak Aci memutuskan untuk enggak datang. Nyokap sempet sedih pas tahu gue dan Kak Aci memutuskan enggak datang.

"Nanti kita ketemunya pas Mama udah balik Jakarta aja, sekalian kenalan sama Om Anton." Itu yang gue ucapkan saat seminggu sebelum Nyokap nikah.

"Nanti Mama kabarin aku atau Ayi aja kalau lagi gak sibuk, kita pasti dateng kok." Kak Aci juga ikut ngomong di telepon waktu itu.

Sedih gak? Ya sedih kok. Gue dan Kak Aci tentunya sedih karena keluarga kita pisah. Tapi, kalau sampai sakit hati dan benci, gue dan Kak Aci enggak merasa demikian. Mungkin karena gue dan Kak Aci enggak tahu alasan pasti Bokap Nyokap cerai.

Bagi gue dan Kak Aci, lebih baik kita enggak tahu alasan Bokap Nyokap cerai dibandingkan kita tahu alasannya. Karena ketika gue dan Kak Aci tahu alasannya pun yang kita dapatkan cuma rasa kecewa dan sakit hati.

Seenggaknya rasa penasaran enggak akan lebih menyakitkan dibanding rasa menyesal setelah terlanjur tahu alasannya.

Berkat dua anaknya yang enggak pernah mau tahu alasan Bokap Nyokapnya cerai, kita masih berhubungan kaya biasa dan baik-baik aja. Yang paling buat gue dan Kak Aci sedih cuma satu, fakta tentang kita yang enggak akan bisa kumpul bareng lagi.

Makanya, gue enggak tahu Bokap Nyokap itu sebenarnya bersyukur atau malah sedih punya anak kaya gue dan Kak Aci. Bersyukur karena masih bisa berhubungan baik sama dua anaknya di tengah keluarga barunya. Atau malah sedih karena anak-anaknya jadi bodo amat, enggak meminta hal apa pun, dan enggak mau tinggal sama mereka.

"Jadi, Gi, walau gue tahu elo terlanjur kecewa. Walau gue juga tahu itu menyakitkan, tapi enggak ada salah denger penjelasan Bokap Nyokap lo dulu. "Yes, it absolutely takes time."

"Pelan-pelan aja, ya. Lo bisa dengerin penjelasan mereka pelan-pelan. Jangan tarik satu kesimpulan yang bikin lo semakin kecewa dan nyakitin diri lo sendiri."

Soundtrack: Dusk and DawnWhere stories live. Discover now