Iringan 3 : Lima Menit

814 163 113
                                    

Perempuan yang baru saja selesai membersihkan sekre bersama anggota sebidangnya kini berjalan ke arah lobi. Ketika sudah mendudukkan dirinya di bangku lobi, ia menatap layar ponselnya beberapa kali. Sita mengerutkan dahi ketika melihat chat-nya yang tak dibalas oleh Ayi sejak satu setengah jam yang lalu.

"Ta, besok aku jemput kamu di kampus, ya."

Sita ingat pesan Ayi semalam yang mengatakan jika laki-laki itu ingin membicarakan sesuatu. Sita juga tahu kalau Ayi hafal seluruh jadwal kelasnya bahkan hingga dosen yang selalu keluar lebih cepat setengah jam.

Sita melihat jam tangan yang melingkar di lengan kirinya, jam dua lewat dua puluh menit. Seingat Sita, kelas Ayi hari ini sudah berakhir jam satu. Sita juga sudah memberitahu Ayi bahwa ia harus melaksanakan piket terlebih dahulu.

Namun, Ayi yang belum datang membuatnya heran. Dirinya yang sudah menunggu di lobi lebih dari dua puluh menit akhirnya memutuskan untuk menelepon Ayi.

Panggilan pertama tidak terangkat sehingga Sita melakukan panggilan untuk kedua kali.

"Ayi?" tanya Sita lembut ketika teleponnya tersambung.

"Ta maaf banget nih aku telat, sekarang baru siap-siap berangkat dari kosan."

"Kamu lagi sakit?" tembak Sita cepat.

"Enggak kok."

Sita dapat mendengar jelas suara Ayi yang terdengar serak dari seberang sana. Suara yang selalu Sita dengar ketika Ayi yang baru bangun tidur langsung meneleponnya. Namun, kali ini suara Ayi terlalu serak tak seperti biasanya.

"Gak usah jemput aku, aku aja yang ke kosan kamu."

Kemudian Sita langsung mematikan teleponnya sebelum Ayi protes. Perempuan itu membuka aplikasi ojek online dan langsung memasukkan tujuannya. Tak perlu menunggu lama, driver-nya sudah berada di depan.

Jarang-jarang Sita memesan ojek online dari kampus karena ia akan selalu membawa motornya ke mana pun. Paling tidak ia akan membawa mobil ke kampus jika tengah turun hujan atau pun ada kegiatan hingga malam. Itu pun, Sita harus bertengkar dengan Yasa terlebih dahulu agar dirinya mau menurut untuk membawa mobil.

Ketika motor beat hitam itu berhenti di depan kosan berlantai dua dengan dua mobil di depannya, sang driver bersuara.

"Mbak, bukannya ini kosan cowok?"

"Iya emang, Pak," ucap Sita seraya melepas helm yang ia pakai.

"Ngapain atuh Mbak ke kosan cowok, gak baik."

Sita menatap sang driver yang usianya mungkin tak berbeda jauh dengan sang Papa itu sambil menurunkan topi jaket abu-abunya.

"Bapak tenang aja, saya gak ngapa-ngapain. Gini-gini saya bisa jaga diri kok, makasih ya Pak." Sita tersenyum sambil menyodorkan helm berwarna hijau itu kepada sang driver.

"Alhamdulillah kalau gitu. Habisnya saya suka sedih lihat anak muda yang mau enaknya aja. Giliran kebobolan, anaknya malah dibuang gitu aja. Kalau gitu saya jalan dulu ya, Mbak."

"Oke siap, Pak. Ati-ati, ya."

Sita membuka pagar kosan berlantai dua itu kemudian menaiki anak tangga satu per satu. Ketika kakinya sampai di anak tangga terakhir, ia mendapati Gian tengah berjalan menuju tangga.

"Eh, Gian," sapa Sita.

"Eh, Kak Sita." Sita dapat melihat Gian yang agar terkejut melihat dirinya tengah berdiri di samping tangga.

Setelah obrolan singkat dengan Gian yang sekarang sudah turun, Sita melangkah maju ke depan kamar Ayi. Sita melepas sepatu dan kaos kaki yang ia gunakan, kemudian merapikan posisi sepatunya. Ia menatap rak berisi beberapa sandal dan satu sepatu yang dua kali lebih rapi dibandingkan miliknya di rumah.

Soundtrack: Dusk and DawnWhere stories live. Discover now