Iringan 21 : Ekuivalensi

438 77 43
                                    

Jene

Ini bocah ya, baru aja gue puji karena dia masih ingat titipan gue buat beli susu vanila atau plain di indomaret. Pas gue buka isi plastiknya, yang dibeli rasa stroberi dong ternyata. Padahal gue udah berniat enggak mau marah-marah, takut pahala gue berkurang gara-gara ngoceh sejak pagi.

"Gue kan suruhnya vanila atau enggak yang plain?" tanya gue sambil menggoyang-goyangkan susu kotak rasa stoberi ke arahnya.

"Loh bukannya lo suruh gue beli rasa stroberi?" tanyanya bingung.

"Ayres adik Jacinda yang terkasih, gue idup sama lo dua puluh tahun plus sembilan bulanan sejak lo di dalam perut Mama. Pernah gak lihat kakak satu-satunya lo ini beli susu rasa stroberi?" tanya gue.

Dia malah menggaruk kepalanya yang gue yakin banget enggak gatal sama sekali. "Enggak sih."

Mau marah, tapi gak jadi soalnya gue harus tahu diri karena gue sendiri yang membuat dia repot-repot harus mampir beli susu.

"Yaudah lo bawa pulang aja nih, kasih Sita kalau ketemu dia."

Gue menyodorkan plastik berisi tiga kotak susu stroberi itu kembali padanya. Sakin seringnya Ayi beli susu stroberi padahal dia lebih suka minuman yang berbau kopi, gue sampai tahu kalau dia beli susu stroberi itu buat Sita.

"Gak bisa. Lo kasih anaknya Bi Tuti aja deh."

Gue mengernyitkan dahi ketika Ayi enggak menerima sodoran plastik gue. Oh ya, dia masih betah bersandar di pintu kamar gue. Udah kaya nempel banget karena dia enggak gerak sama sekali. Gue kan jadi beneran takut lihatnya.

"Loh kenapa? Sita udah gak suka susu stroberi lagi?"

"Gak bisa pokoknya, terserah lo deh mau diapain itu," paksa dia.

"Gak bisa pokoknya, gue maunya lo kasih ini ke Sita," paksa gue balik.

Sejak kedatangan dia yang lebih banyak diam sampai gue kira kesambet atau ketempelan, gue tahu kalau dia datang membawa segudang beban di pundaknya. Ayi tuh enggak mungkin sampai repot-repot harus izin Aka cuma buat ketemu gue.

"Terus itu bibir kenapa? Ganas amat ampe lecet gitu?" tanya gue.

Kaget gue tiba-tiba dia terduduk lemas di depan pintu kamar gue sambil menundukkan kepala. Padahal gue niatnya bercanda, kita juga udah biasa bercanda kaya gitu.

Lantas gue berjongkok di depannya sambil menunduk supaya bisa melihat wajah dia. Yang gue lakukan hanyalah menepuk pelan puncak kepalanya beberapa kali.

"Pusing, bingung, capek." Dia ngomong dengan wajahnya yang masih tertunduk.

Dengan posisi yang sama selama dua menit, akhirnya gue membuka suara. "Udah makan belum? Gue belum nih, temenin cari makan yuk."

"Ayuk bangun, gue enggak kuat seret elo nih," gue menarik tangan kanannya dengan kedua tangan gue, "gue aja bayar ongkos ke tukang galon buat angkat galonnya sampai lantai empat gini."

"Ayuk gue laper," ucap gue lagi. Setelah mendengar rengekan gue, akhirnya dia bangun dengan sendirinya.

"Mau makan apa?" tanyanya.

Gue menarik tangannya buat duduk di kasur padahal dia udah siap-siap buat buka pintu. "Obatin dulu nih bibirnya, kok enggak diobatin sih?" protes gue.

Gue mengambil salep di kotak obat kemudian mengoles salep itu ke sudut bibirnya yang luka. Setelah itu gue kembali menarik tangannya untuk keluar cari makan dan enggak lupa kunci pintu. Dia juga cuma diam aja, mengikuti gue jalan kaya anak itik ikutin emaknya.

Soundtrack: Dusk and Dawnحيث تعيش القصص. اكتشف الآن