Iringan 9 : Bubur Ayam

576 91 63
                                    

Gian melirik jam yang ada di kamarnya, hampir jam delapan. Ia yang baru saja meletakkan ponselnya tersentak ketika mendapati pintu kamar miliknya terbuka.

Menampakkan Ayi yang tengah menyembulkan kepala sambil menatap dirinya. Gian melihat rambut Ayi yang sedikit basah, lengkap dengan kantung plastik putih yang terlihat cukup berat. Tidak hanya itu, Ayi juga membawa selimut dan sikat gigi ke dalam kamar Gian.

Ayi mengeluarkan dua sterofom dari plastik putih. Mengambil dua buah mangkuk yang ada di kamar Gian lalu menuang isi bubur itu ke dalam mangkuk. Kemudian menyodorkan semangkuk bubur ayam tanpa kacang, kerupuk, dan sambal kepada Gian.

Gian meraih mangkuk itu dari tangan Ayi. Selama beberapa saat ia hanya diam. Lalu tiba-tiba ia memanggil Ayi.

"Kecewa ya yang muncul gue? Soalnya Adhis udah pulang," ledek Ayi.

"Gak gitu, Bang," sahut Gian cepat.

Ayi mengaduk bubur ayam miliknya sambil berkata bahwa dirinyalah yang meminta Adhisti pulang. Gian malah menatap saja mangkuk berisi bubur yang ada di tangannya.

"Kasian entar dia sampe rumah kemaleman."

Ayi juga memberi tahu Gian bahwa dirinya sempat menawarkan Adhisti tumpangan hingga stasiun Juanda, tetapi Adhisti dengan cepat menolak. Perempuan itu tidak mau merepotkan Ayi. Ia malah meminta tolong Ayi untuk menjaga Gian dibandingkan mengantar dirinya ke stasiun yang letaknya cukup jauh dari kosan Antares.

Gian hanya mengangguk-angguk mendengar Ayi yang bercerita tentang Adhisti. Ia tak henti menatap laki-laki berkaos kuning mustard yang asik dengan buburnya yang diaduk itu.

"Bang, lo bukannya mau nonton sama Kak Sita?"

Ayi mengangguk sambil memakan sesuap bubur ayam.

"Terus kenapa malah makan bubur di kamar gue? Sana lo jemput Kak Sita buat nonton," usir Gian.

Ayi tertawa melihat tingkah Gian yang merasa bersalah karena dirinya membuat Ayi dan Sita batal pergi. Jarang-jarang ia bisa melihat tingkah Gian yang marah-marah, tetapi jatuhnya malah menggemaskan.

"Nanti Kak Sita marah sama gue lagi jangan-jangan?" tebak Gian.

"Ya enggak dong. Sita enggak mungkin marah karena jaga adek gue yang sakit."

Gian termenung mendengar jawaban Ayi. Yang Gian lakukan sejak tadi hanyalah menatap Ayi tanpa henti. Mengenal Ayi sejak ia baru saja resmi menjadi mahasiswa, terkadang Gian masih tak menyangka atas beberapa tindakan Ayi.

"Btw Gi. Gue beli bubur itu buat dimakan, bukan buat dipelototin," sahut Ayi pada akhirnya karena gemas melihat Gian yang hanya menatap mangkuk berisi bubur itu tanpa memakannya sedikit pun.

Gian mengangguk patuh sambil memasukkan bubur ke dalam mulutnya. Setidaknya ia masih memilih sedikit nafsu makan. Ketika bubur milik Gian tinggal setengah, ia kembali bersuara.

"Untung lo cowok Bang, kalau enggak gue udah baper kali ini."

"Mana mungkin? Lo kan sayangnya sama Adhis."

Yang diledek tidak membantah atau pun mengiyakan ucapan Ayi. Gian malah diam dan melanjutkan aksi makan buburnya yang mungkin sebentar lagi berair karena terlalu lama didiamkan. Namun, telinga Gian yang memerah sukses membuat Ayi tertawa.

"Sini mangkuknya, gue aja yang cuci."

Ayi bangkit dari kursi kemudian meraih mangkuk kosong dari tangan Gian. Baru saja Ayi ingin menarik kenop pintu, Gian lebih dulu bersuara.

"Bang, lo gak takut cuci piring malem-malem?"

"Baca doa gue nanti tanpa henti."

Gian sudah siap untuk bangun dari kasur, tetapi Ayi menyuruhnya untuk tetap berada di kasur. Akhirnya Gian membiarkan Ayi mencuci piring di dapur sendirian. Di tengah Gian yang menunggu Ayi kembali dari dapur, ponsel milik Ayi berbunyi.

Soundtrack: Dusk and DawnWhere stories live. Discover now