Kami menamainya sebagai penutup

59 3 6
                                    


“Dia itu bukannya yang menyontek ulanganmu semasa sekolah dulu, Ami?”

Ami melihat ke televisi, sosok wanita pembawa berita pagi itu menyita perhatian Amar
sepertinya.

“Sepertinya…” Ami menelusuri wajah wanita itu dalam memorinya. “Dia adalah orang yang kau contek saat ulangan dulu.”

“Aku? Sejak kapan aku mencontek?”

Ami membersihkan lensa kameranya dengan tenang. “Jika kau tidak bisa mencontek
padaku, maka kau mencontek pada orang lain.”

Ibu tersenyum melihat perdebatan anak kembarnya, lalu beralih kepada Nisya yang baru
saja keluar karena penasaran dengan keributan diluar.

“Akhirnya kau keluar juga.” Ibu tersenyum menyapa Nisya.

“Seminggu ini kau terus belajar
saja, bagaimana jika pergi keluar dengan kedua kakakmu.”

“Eh?”

Amar tersenyum. “Ya, kami hendak pergi mewawancarai seseorang, kau mau ikut?”

Nisya ragu, jika ia ikut kakaknya bukankah ia akan mengganggu pekerjaan mereka?

“Tidak masalah, Nisya! Kami berhasil mendapat janji temu dengan narasumber kami
karena membawa namamu, sebagai tanda terima kasih kau bisa ikut denganku.”

“Pergilah, lagipula sesekali pergi keluar juga bagus untuk menyegarkan pikiran.”

“Ya! Aku senang pada akhirnya aku tidak perlu berpanas-panasan di lapangan, duduk di
tempat yang sejuk dan berbincang dengan santai jauh lebih menyenangkan. Aku sudah
membuat judul artikelnya, “terbukti tidak bersalah, tersangka perdagangan organ gelap dibebaskan” Bagaimana menurutmu, Ami?”

“Wah, jelek sekali.”

Yang menjawab bukan Ami, melainkan ibunya. “Bahkan anak SD sekalipun bisa membuat
judul berita yang bagus.”

Amar memayunkan bibirnya. “Jadi harusnya bagaimana?”

“Harusnya?” Ibu menatap Amar dengan jenaka. “Tersangka kasus perdagangan organ gelap
dibebaskan, Majalah “X” meliput beritanya, Fotografer tidak peduli karena belum digaji.”

Ami terkejut, secara tidak langsung dirinya disinggung. “Aku baru gajian seminggu yang
lalu.”

“Lalu kenapa wajahmu muram durja begitu?”

“Hanya malas saja harus memotret orang.” Ami memasukkan perlengkapannya ke dalam ransel.

“Ami suka memotret satwa, bu. Jarang ia ditempatkan untuk wawancara, dia ‘kan suka
hewan.” Amar bangkit, lalu menyandang tasnya.

“Kau anggap saja dia binatang, mudah ‘kan? Kau tidak perlu merasa keberatan lagi
memotret narasumbernya.”

Ami tersenyum tipis, leluconnya lucu tapi ia tidak tertawa.

“Apa yang kalian tunggu?” Ibu tidak sabaran melihat kembar itu masih belum beranjak
juga. “Kalian ingin terlambat? Nisya sedari tadi telah selesai bersiap.”

“Oh lupa.” Amar menyeringai jahil. “Kami pergi dulu, Ibu!”

**
Ada beberapa hal yang tidak berubah, misalnya.

Amar dan Ami.

Ami masih pendiam dan dingin seperti biasanya, begitu pula Amar, ia juga masih suka mengebut membawa mobil tuanya sambil menggaungkan lagu dengan suara keringnya.

Beberapa hal memang tidak berubah, itu tidak apa.

“Lebih baik parkir disini.”

“Tidak, disana lebih baik. Lebih dekat.”

Draft Ver: Potrait (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang