Senja dan perasaan yang disimpan

9 3 0
                                    


“Kau suka catur, Disha?”

“Tidak, tapi tadi itu seru sekali.”

“Hamdi mengerikan, ia tidak kenal ampun bahkan untuk pemula.”

Disha tertawa. Lalu menepuk bahu Nisya dengan lembut. “Hei, aku baik baik saja! Catur
bukan kemahiranku.”

Di tengah obrolan hangat itu, satu suara menghancurkan momen mereka.

“Nisya.”

Kedua anak itu menoleh, Sid seperti biasa dingin dan tajam.

“Bisa ikut aku sebentar?”

Nisya menoleh pada Disha, tidak nyaman jika meninggalkannya sendirian.

Tidak apa, Disha mengatakan dengan gestur tubuhnya. Nisya mengikuti Sid di belakang.
Sebenarnya Siddi tidak perlu susah payah menjauhkan Disha dari pembicaraan mereka.

Karena Disha pada akhirnya akan mendengarkan secara diam-diam.

“Apa?” Nisya terdengar seperti tidak percaya. “Tidak, tidak. Ada juga kemungkinan aku
bukan dia.”

“Ya. Bisa jadi kau adalah dia, atau bukan sama sekali.” Sahut Sid. Lalu ia beranjak.

“Tunggu, pak Sid.” Nisya menahannya.

“Ya?”

“Shei.”

“Apa?”

“Shei.” Nisya mengulangi perkataannya.

“Kau…” Siddi melangkah ke arahnya. Makin dekat, semakin mendekat.

“Si, Siapa Shei?” Nisya mundur perlahan.

Tap! Tangan Siddi berada di bahunya.

“Shei… Shei, itu nama yang kuberikan untukmu, saat kau bilang kau tidak ingat apapun
termasuk nama sebenarmu.”

“Pak Sid.” Nisya menggeleng, ia yakin ingatannya utuh, ia tidak pernah bertemu dengan
pria itu sebelumnya. “Shei itu anak yang kau cari?”

Siddi tidak menjawab, ia merengkuh Nisya ke dalam pelukannya.

Nisya tidak menolak, ia merasakan kesedihan dan keputusasaan Sid, ia tidak tega
mengkasari pria itu.

Shei, siapapun dia pasti sangat berpengaruh dalam hidup Sid, sampai pria itu mati-matian
mencarinya.

“RAOMOLE!” Suara Zeline terdengar nyaring menggema di lapisan troposfer.

Siddi melepaskan pelukannya, wajah berubah kembali menjadi datar.

Me.na.kut.kan.

Bagaimana ia bisa mengubah ekspresinya dengan cepat.

Zeline akhirnya menemukan mereka. “Disitu kau rupanya! Aku menunggu, lama sekali!”

“Terima kasih sudah menunggu.” Ucap Sid. Nisya hanya memandang Zeline dengan penuh
pertanyaan.

“Siapa ini? Hwa, kau menggemaskan sekali! Aku ingin punya pipi tembam sepertimu!”

Zeline langsung mencubit-cubit pipi Nisya tanpa izin.

“Shalam khenal, shayya Nhisyah.”

“Aku Zeline.” Pada akhirnya Zeline melepaskan pipi Nisya

“Senang berkenalan dengan anda, Bibi Zeline.”

“Aku terlalu tua untuk dipanggil bibi, Zeline saja.”

**
Bicara tentang tadi sore…

Tampaknya Sid sangat mencintai Shei.

Shei…

Nisya memejamkan matanya, berusaha untuk tidur.

Sketsa gambar Shei terbayang lagi dalam ingatannya.

Shei, kau siapa? Kenapa aku terhubung denganmu?

Kenapa kau menghilang darinya?

Kenapa kau kehilangan ingatanmu?

Gambar itu bergerak di dalam pikirannya, Shei menoleh ke belakang, seolah tersenyum
padanya.

Senyum itu tidak asing…

Sid terus berpikir bahwa Shei dan Nisya adalah orang yang sama, terus mengatakan bahwa
ia ragu dengan ingatan Nisya.

Yang ia rasakan…

Bukan hanya frustasi.

Rasanya…

Menyedihkan? Sid menyayangi Nisya karena menganggap Nisya adalah Shei. Tapi apa yang
dirasakan Nisya? Sebagai orang yang di ‘kambinghitam’ kan hanya karena kemiripan fisik.

Draft Ver: Potrait (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang