Yang Berpulang

16 3 0
                                    


“Pamanku menjual obat herbal, manjur menyembuhkan demam. Kau mau mencoba, Nisya? Pamanku akan menjual murah karena kau temanku.”

“Berhenti berjualan, sipit. Lagipula obat itu memuakkan, sama seperti melihat wajahmu.”

Bugh!

Bantal mendarat sempurna membungkam mulut Yumda.

Hamdi dan Nisya hanya bisa menyaksikan pertempuran klasik itu sambil mengurut dada.


Minggu ini mereka bermain menjenguk Nisya di rumahnya. Amar sedang pergi, dan Ami hanya diam di kamar.

Karena tidak ada yang perlu disegani, Yumda dan Pipit bisa berkelahi dengan leluasa.

“Aku harus mengembailkan jas Siddi…”

“Bagaimana bisa ada padamu?” Hamdi bertanya dengan tatapan menyelidik.

“Yaa… Sudah lama, ia meminjamkannya padaku.”

Hamdi mengeluarkan ponselnya.

"Kurasa aku punya nomornya.”

“Sungguh?” Nisya membelalakkan matanya dengan senang.

“Jika aku tidak menghapusnya.”

.
.
.
.
.
.
.

“Tidak diangkat.” Hamdi menelepon nomor itu sekali lagi.

“Mungkin kau kehabisan pulsa, Hamdi. Adik sepupuku menjual pulsa, semua operator.”


“Kita anggap saja dia sedang sibuk, bagaimana?” Hamdi menyerah, memandang ketiga temannya dengan jenaka.

Yumda mengangguk. “Anggap saja begitu.”

“Kau tahu tidak, Pipit? Entah kenapa Yumda terus berusaha terlihat dewasa akhir-akhir ini, itu bukan kebiasaannya.” Hamdi melirik Yumda yang siap mendaratkan tinjunya di wajah Hamdi.



Pipit menanggapi dengan spontan. “Mungkin untuk membuat kagum perempuan yang disukainya.” Pertama ia tergelak oleh humornya sendiri, lalu ia menyadarinya. Pipinya merona merah.

Senjata makan tuan.


Bugh!

Serangan bantal kedua untuk Hamdi, yang menjahili tertawa lepas sambil memohon ampun pada Pipit yang memukulinya tanpa ampunan.

“Kau sudah gila, ya? Mana mungkin kami bisa saling suka! Aku mengenalnya sejak ia masih
bocah kecil yang belum bisa mengurus kencingnya sendiri!”


Yumda menyahut tak kalah ribut.
“He, sipit! Kau mengotori jaket mahalku saat menstruasi
pertamamu!”

Nisya melirik kamar Ami, berharap ia tidak terganggu dengan kericuhan teman-temannya.

“hei, hei diam!” Hamdi menengahi, bangkit dengan rambut berantakan.
“Aku mendengar suara orang dari luar.”


Apa? Semua orang membungkam mulut masing-masing, memasang telinga untuk mendengar bunyi-bunyi kedatangan.

Klik! Suara pintu dibuka.

“Nisya! Ada teman yang datang menjenguk!”


Itu suara Amar, lantang dan ceria seperti biasanya.

Amar menyapa keempat anak itu dengan ramah.


Teman yang mana? Oya?


Keempat anak itu melemparkan pertanyaan batin yang sama kepada yang lain.


“Masuklah! Nisya ada di dalam!” Ajak Amar pada tamu yang batang hidungnya belum kelihatan.

Langkahnya ragu-ragu

Akhirnya ia memperlihatkan dirinya.

“Halo semua…”

Suara yang tidak asing.

Senyuman itu…

Wajah itu…


“Disha!” Seru mereka serempak. Tidak bisa dibayangkan. Disha yang menghilang. Kembali.

“Kau kemana saja!” Pipit merengkuh Disha, memeluknya erat-erat.

Sebanyak apapun pertanyaan yang dihujamkan, Disha hanya menanggapi dengan senyuman pucat.

Keributan kecil itu mengakibatkan Ami sampai harus keluar dari kamarnya.


“Ada apa?”


“Kau tahu.” Ujar Amar sambil tersenyum. “Ini membuatku terkenang sesuatu. Anak perempuan yang muncul dari hutan…”

Ami membalas dengan senyuman tipis.

“Dulu ada seorang anak lelaki yang mencari saudarinya yang menghilang beberapa waktu
lamanya.”

“Anak lelaki yang tidak mempertimbangkan kemungkinan dia tersesat di hutan?” Ami menyahut.

“Kelaparan dan kelelahan, tiba-tiba saudarinya datang seperti keajaiban. Kemana saudarinya selama itu?”

“Hanya Tuhan yang tahu.” Ucap Ami takzim, Amar mendengus.

“Sudahlah, Amar. Kau bilang kau yang menyiapkan camilan untuk teman teman Nisya. Segera lakukan tugasmu.”

Draft Ver: Potrait (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang