Melarikan Diri

29 3 4
                                    


Tidak terlalu sulit untuk tidur di tempat terasing, menghabiskan sisa malam dengan orang asing yang membuatmu harus mencerna semua kejadian menegangkan yang terjadi.

Ketika ia terbangun, ia belum pernah mendapatkan keheningan sedalam ini. Bertemankan lilin kecil sebagai teman malam, ia merasa nyaman dan hangat.

Nisya tersadar, ia harus pulang segera. Ia tidak tahu sudah berapa lama berada di tempat ini, jika ibu pulang dan tidak menemukannya di rumah… sungguh bahaya!

Nisya bangkit dengan hati-hati, lalu memandang sekeliling. Siddi telah tertidur, revolvernya tergeletak di
di sebelahnya. Mungkin Siddi menyiapkannya untuk berjaga-jaga jika ada bahaya. Nisya menghampiri lubang masuk tadi, ia mencoba menggapai lubang itu tapi mustahil. Lubang itu terlalu tinggi, Nisya teringat bagaimana Siddi yang jangkung itu bahkan membutuhkan pijakan untuk mencapai lubang itu.

Nisya berkeliling mencari jalan lain, tapi nihil. Nisya kembali ke dinding itu, ia mengamati celah dinding itu dengan cermat. Ada sedikit celah kecil untuk pijakan, jika kakinya tidak terluka mungkin saja ia melakukannya.

Suhu di dalam ruangan mulai menghangat, ia merasakan keringat mulai mengalir karena kepanasan. Nisya membulatkan tekad,memeriksa saku sebelum memanjat dinding itu, memastikan kunci rumah aman padanya.

Hup!

Nisya meletakkan satu kakinya di celah lalu tangannya dengan cepat meraba dinding untuk mencari celah lain.

“Turun.” Suara dingin dan datar menggema, Nisya tersentak kaget. Kakinya dengan cepat kehilangan tumpuan dan akhirnya jatuh berdebam menghantam lantai. Nisya meringis pelan, luka di kakinya terasa nyeri. Lalu, ia mengangkat kepalanya. Siddi si datar menatapnya dengan tajam, dengan mengacungkan revolvernya ke kepala Nisya.

Nisya membalas tatapannya, sebenarnya ia ingin melawan Siddi tapi ia tahu seberapa besar bahayanya. Ia tidak mau kejadian beberapa malam yang lalu terulang kembali.

“kenapa aku harus mengikutimu?”

“kau ingin benda ini menghancurkan kepalamu?”

“Ya! Tembak saja aku!” Seru Nisya marah, ia tidak bisa menahan emosinya lagi.

“Kau yang minta.”

Dor!

***

Drrt!

Drrt!

Disha bersungut kesal, menoleh ke atas meja belajarnya.

Drrt!

“Halo.” Disha mengangkat telepon.

“Disha, ini a…”

Tuk! Tuk! Sekarang giliran pintu yang bersuara. Disha menghela nafas pendek, lalu mematikan telepon bahkan sebelum penelepon itu bicara.

“Ya?” Tanya Disha dari balik pintu.

“Satu lagu untuk Jen…” Suara parau itu berbisik pelan.

Disha menarik nafas. “Kalau kau terus seperti ini, sepertinya lebih baik jika aku tak pernah
mau masuk ke dalam rumah ini.”

“Jen anak ba-ik!” Suara parau itu berbisik semakin pelan. Disha menarik nafas dalam, ia mengedarkan pandangan ke sekeliling.

“Sudah pagi, Mara.” Ujar orang di balik pintu. Disha meletakkan tangannya di gagang pintu, tangan kanannya mengepal keras.

Satu

Dua

Tiga

Brak! Disha menghempas pintu, seorang wanita dengan rambut basah dan kuyu berdiri di depan pintunya. Tiba tiba ia berteriak girang, Disha meninju kepalanya kuat-kuat, wanita itu terayun membentur kusen pintunya lalu jatuh terkapar. Disha menatap wanita pingsan itu dengan sedih, bibirnya bergetar.

“Lusi!” Seorang pria paruh baya berlari ke arah kamarnya. Ia menghampiri Disha, beradu pandang sesaat lalu membawa wanita itu naik ke atas. Disha pergi ke dapur, mengambil sekaleng soda dari dalam kabinet. Pria paruh baya itu kembali, ikut duduk bersamanya.

“minta dokter menambah obatnya.” Ucap Disha dengan suara bergetar.
Pria paruh baya itu meraih tangan Disha, mengusapnya dengan lembut. “Kita lalui ini bersama, sayang…”

“Tidak, tidak.” Disha menggeleng pelan.

“Atau… Kau ingin tinggal di rumahku?” Tawar pria itu. Disha membuka kaleng sodanya.

“Tidak akan… Ini… Ini rumahku, paman. Pilihannya hanya dua, keluarkan aku dari keluarga biadab ini atau bawa wanita gila itu pergi dari sini…”

“Disha… dia itu…”

“dia bukan ibuku lagi…” Disha menahan tangisnya. “Dia… dia bukan ibu yang ku kenal. Dia… dia… dia membunuh istrimu, paman! Apa kau lupa! Dia bahkan juga ingin membunuhku!” Seru Disha marah.

Pria itu terdiam.

Disha bangkit dari duduknya, lalu meraih jaket serta topinya dan pergi keluar.

**

Disha menghela nafas. Tidak banyak yang bisa dilihat saat malam, namun ia tetap mengayunkan kakinya menyusuri jalan setapak. Pikirannya menjelajah jauh, ia muak tinggal di rumahnya.

“Malam, La-is.” Sapa Disha pada pemuda yang tengah duduk bersantai di tepi jalannya.

“Malam, tidak seharusnya kau keluar malam ini.”

“Oh ya?”

“Ayahku bilang ada baku tembak tadi sore.” Disha melepaskan topinya, membiarkan angin mengurai rambutnya.

“Kau punya rokok, Disha?”

“Kalaupun ada tak akan kuberi.” Jawab Disha pendek, memasukkan tangannya ke dalam saku. “Aku pergi dulu.”

“kemana?”

Disha tak menjawab, meneruskan langkahnya.

Drrt!

Ponselnya berdering lagi, Disha lekas mengangkatnya.

“Halo.”

“Disha, ini a…”

“Ada apa?” Tukas Disha tak sabar.

“Kau punya uang untuk pergi?”

“Ya, apa kau punya pekerjaan untukku?”

“Tidak ada pekerjaan untuk perempuan, ka…”

“Terima kasih atas pembicaraan tidak berfaedah ini, aku sedang sibuk.”

“Hei, dengar aku dulu! Ini su…” Disha mematikan telepon. Menghela nafas pendek, berpikir tentang pekerjaan lain yang mungkin bisa ia lakukan.

Disha meneruskan langkahnya menuju pasar terlantar, seorang pria tua tak berumah tinggal disana. Disha senang menghabiskan waktu berjam-jam untuk bermain catur dengannya. Jalan mulai becek dan berlumpur, satu satunya jalan ke sana hanyalah jalan becek dan berlumpur.

Disha mengedarkan pandangan ke sekeliling. Pria tua, teman caturnya itu mungkin ada dimana saja.

Uhuk! Terdengar suara terbatuk pelan di balik timbunan kayu lapuk.

“Ou, pak? Anda disana?” Disha menghampiri timbunan kayu itu.

Disha tertegun.

Itu orang lain.

Draft Ver: Potrait (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang