Bersabarlah kawan, kita masih dalam penyelidikan

24 4 0
                                    


“kita sampai. Jangan turun sebelum kusuruh turun.” Nisya melengos, lagi lagi dia mengaturnya. Siddi turun dari mobil, mengamati keadaan di sekelilingnya.

Tentu saja!

Seorang bawahan bos keluar dari restoran kecil itu sambil menghisap rokoknya dengan santai, menuju ke parkiran di depannya.

Ctak! Nisya membuka pintu mobil, tanpa tahu bahwa salah satu penjahat yang mengincarnya akan melintas di depannya sesaat lagi.

Slap!

Apa?

Nisya mendongak, Siddi memeluknya dengan erat. Nisya berusaha memberontak namun badannya tidak bisa bergerak karena Siddi menahannya dengan kuat. Siddi tetap memeluknya hingga si perokok itu meninggalkan tempat itu.

“Apa yang terjadi?”

“Komplotan itu, mereka sudah pergi.”

Nisya melotot marah. “Anda tidak perlu memelukku seperti itu! Cukup suruh aku bersembunyi saja!”

“Aku tidak memelukmu, aku menyembunyikanmu.” Ucap Siddi meralat dengan tenang.

“Tidak perlu menyembunyikanku! Aku pandai bersembunyi.” Ucap Nisya kesal.

Siddi hanya tersenyum tipis, lalu melangkah meninggalkan mobil. Nisya mengikutinya dari
belakang.

***

“Feddie! Apa kabarmu!”

“hai kawan, senang bertemu.”

Nisya menatap pria yang satunya, Nisya tidak mengira orang seperti Siddi… Tunggu! Siapa Feddie? Jadi siapa mana nama aslinya Siddi, Feddie?

“siapa gadis ini? Pacarmu?” Pria itu memicingkan mata melihat ke arah Nisya. Baju kausnya basah oleh keringat, pastilah teman Siddi bekerja disini.

Nisya membelalakkan matanya. Apa? Pacar?

“Adikku” Siddi alias Feddie, menjawab dengan tenang. Meletakkan tangannya di pundak
Nisya.

“Kakakmu pasti menjagamu dengan baik hingga kau bisa tumbuh semanis ini ya? Aku Nan, senang berkenalan denganmu.”

“Se,se,senang ber,tem..mu anda, sa..saya Ni.. Nisya…”

Entah kenapa bibirnya terasa begitu gemetar.

***

“Dari semua orang! Kenapa harus denganmu!”

“kenapa? Kau tidak suka denganku?”

“tutup mulutmu atau ku kebiri kau hidup-hidup.”

“Kok jadi galak sih?”

“Diam kau, bocah cilik!”

“Shht! Jangan berisik, nanti ketahuan.”

“Baiklah… Demi nisya, aku akn diam. Ayo lanjutkan.”

Hari ini.

Untuk pertama kalinya, Pipit merindukan lesnya yang menyebalkan.

“kau cukup aneh hari ini.”
Ia lebih senang mengerjakan beratus ratus soal dan mendengarkan omelan guru privat tuanya, ketimbang menghabiskan waktu untuk pencarian.

“bukan urusanmu.”

Bersama orang yang paling menyebalkan di dunia!

“Eureka! Ini kemungkinan jalan becek menuju tempat persembunyiannya.” Pipit berseru riang, akhirnya pencarian membuahkan hasil.

“di belakangku, mungkin ada…”

“Jangan lama-lama! Aku sudah lelah dan mau pulang!” Bentak Pipit, mendorong Yumda ke dinding.

Lalu menyalakan lampu senter dari ponselnya. Yumda hanya bersungut sebal, Pipit tidak pernah lebih galak kepada orang lain daripada kepadanya. Padahal mereka sudah saling kenal sejak kecil. Jika di hadapan orang lain, Pipit akan menerima saja segala bantuan yang diberikan. Tapi disaat Yumda ingin menolongnya?

Lebih baik tidak usah.

Lihat saja, walaupun liang itu tingginya semeter diatas Pipit, ia tak mau menerima bantuan dari Yumda.

“Jangan pegang kakiku, mesum!”

“Aku menolongmu, tolol!” Yumda mengumpat pada Pipit.

“Tidak perlu! Kalau kau terusan begitu, kuadukan pada ibumu kalau kau sudah melecehkanku.” Ancam Pipit, menyeka keringatnya lalu sekali lagi melompat.

Hup!

Satu tangannya menggapai liang. Kakinya berayun ayun mencari pijakan.

“Perlu bantuan, nona sok hebat?” Tanya Yumda mengejek, sambil melepas kedua sepatunya
yang basah oleh genangan.

Pipit mengatupkan rahangnya dengan keras, berusaha untuk memasukkan setengah badannya lagi yang berada di luar liang. Ia menyerah.

Bukan karena tidak muat.

Ia sudah kelelahan.

Jadi, karena ia sudah terlanjur setengah jalan, yang bisa ia lakukan adalah memeriksa dari atas liang. Pipit menyorot ke dalam ruangan, sementara Yumda menungguinya dengantidak sabar.

“tidak ada apapun disini!” Seru Pipit. Yumda terkejut.

“dia telah mengemas semua barangnya!” Lanjut Pipit. Yumda segera menelepon Hamdi.

“ya, halo?”

“tak ada apapun disini, Hamdi! Dia sudah mengemas semua barangnya.”

“Kalau begitu kembali saja, mampirlah ke rumahku. Ada cemilan dan kudapan untuk kita
makan bersama. Aku akan menelepon Nisya dan Disha. Kerja yang bagus, kawan-kawan!”

***

“anda masih tinggal di bangunan terlantar itu?”

“Tidak.”

“Syukurlah, tempat itu tidak layak ditinggali.”

“ya, memang.”

“Anda terlihat khawatir…”

“Ya, benar. Temanmu, aku mengkhawatirkannya.”

“Siapa?”

“Kau juga tahu. Yang pergi ke tempat persembunyian lamaku.” Nisya terkejut, Siddi tahu teman-temannya pergi ke sana?

“Apa yang kalian pikirkan? Aku berusaha menghindarkan kalian dari bahaya. Aku tahu, kalian ingin tahu tapi ada hal yang tidak seharusnya kalian tahu. Yah… Sayang sekali, kalian kurang sigap. Nah, kita sampai. Sampai jumpa besok.”

***

“Nisya!” Disha memanggil. Menghentikan sepeda motornya, lalu berlari ke arah Nisya.

Nisya baru saja hendak masuk ke dalam rumahnya.

“Maafkan aku! Banku kempes di jalan! Aku ketinggalan jauh dari kalian, kau tidak apa-
apakan?”

“Syukurlah kau baik-baik saja, Disha.”

“Ayo! Hamdi mengajak makan di rumahnya.”

“Wah, maaf. Aku kenyang sekali. Katakan pada Hamdi, aku berterima kasih padanya."

“dramatis sekali, baiklah, akan ku katakan!”

Draft Ver: Potrait (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang