Nostalgia

14 4 0
                                    


Hujan mulai turun perlahan. Satu titis, dua titis, lalu jutaan titis hujan menyusuli
temannya.

Empat orang menatap cuaca muram di luar dengan penuh bosan dan gelisah.

“Zeline, apa kau tahu sesuatu tentang Shei?” Yumda membuka pembicaraan, yang akan
diberi tema sebagai pembicaraan menunggu hujan.

Zeline menatap anak bermata jenaka itu, Yumda mendalami raut wajah Zeline dengan
penuh seksama.

Zeline menyunggingkan senyuman manisnya. “Kalau begitu kalian pasti sudah kenal Raomole? Sid?”

“Ya!” Ucap mereka serempak.

“Shei… kalau aku tidak salah… Dia adalah gadis yang membuat Sid mencarinya jauh dan
meninggalkan kami…”

“Kami?” Yumda menyelidik. Zeline tersenyum geli melihat tiga anak itu.

“Sid adalah anak angkat pamanku, ketika pamanku mengadopsinya paman memberinya nama Raomole, tapi sebenarnya ia lebih suka dipanggil Siddi.”

Ketiga anak itu mendengarkan dengan penuh konsentrasi.

“Ia pernah pulang ketika paman wafat, lalu ia mewarisi perniagaan paman… setelah
merekrut Alden ia kembali menghilang…” Zeline menatap rintik hujan, seolah kembali
mengenang masa lalu.

“Yang aku tahu… Shei membuat Sid menjadi dirinya sendiri, berjuang dengan jalannya
sendiri… Jika aku punya kesempatan, aku ingin bertemu dengannya…”

**
“Gashel, siapa anak itu?” Zeline kecil ingat pada saat hujan itu, ia dan pengasuhnya sedang
bermain bersama. Gashel ikut mengintip bersama Zeline di jendela.

“Siddi sudah sampai rupanya!” Seru Gashel, ia bergegas merapikan kamar Zeline yang
berantakan akibat permainan mereka.

“Gashel, anda mau kemana? Kita belum selesai.”

“Saya akan memberitahu tuan besar, pergilah ke bawah dan temani Siddi.” Gashel
menyusun boneka-boneka Zeline di tempatnya.

Zeline turun dengan ragu-ragu, menghampiri bocah lelaki yang berdiri di serambi utama
seperti patung. Wajahnya pucat seputih kapur, tubuhnya yang kurus kering menimbulkan
kesan sayu dibalik tuksedo hitamnya.

“Ha, halo…” Zeline menyapa dengan takut.

“Halo.” Balas Siddi kecil dengan singkat.

“Kau.. Siddi ya…” Tanya Zeline takut-takut.

“Sekarang namaku Raomole.”

“Ah… begitu…”

Suara hujan di halaman kembali mengisi keheningan.

“Eng… masuklah…” Zeline mempersilahkan Siddi masuk, namun bocah lelaki tirus itu tidak
beranjak dari tempatnya berdiri.

“Katanya aku harus berdiri disini hingga tuan besar melihat wajahku.”

“Masuklah… Aku akan menjelaskan pada kakek… Diluar dingin…”

“Lalu kenapa dengan dingin? Aku baik-baik saja.”

Zeline memutar otak untuk mencari jawaban tercerdas yang ia punya untuk menggeser
Siddi masuk ke dalam. “Kalau kau di luar, kau akan kedinginan dan kau akan jatuh sakit.”

“Lalu kenapa jika aku sakit? Yang merasakan sakitnya juga hanya aku.”

Zeline menarik nafas, kalau ingin mengikuti kata hatinya, ia ingin menjambak rambut Siddi
karena kesal. “Kalau kau sakit, ibumu akan sedih!”

“Aku tidak punya ibu.”

Zeline benar-benar melupakan kecanggungan tadi. “Ayahmu juga akan sedih!”

“Ayahku.” Ucap Siddi. “Baru saja meninggal beberapa minggu yang lalu.”

Zeline tercengang, kehilangan sesuatu yang tidak bisa kembali lagi… pasti sangat
menyedihkan…

“Maafkan aku…”

“Tidak masalah.” Ucap Siddi, raut wajahnya tidak menunjukkan kesedihan.

Begitulah mereka kecil, disaat Zeline ingin bermain diluar bersama Raomole, bocah
itu selalu menolak dengan alasan yang sama: belajar.

Paman Bocc bukanlah tipe orang yang suka mengekang dan ketat dalam aturan, tapi Raomole membuat semua orang berpikir begitu.

Raomole selalu bilang tidak apa-apa jika Zeline mengacaukan susunan bukunya, atau jika rencana piknik mereka dibatalkan.

Ia menerima keadaan apa adanya dan memilih mengikuti aturan yang ada ketimbang kata
hatinya.

Ketekunan dan kedisiplinan Raomole membuat paman Bocc mengirimkannya ke sekolah
kedokteran, tentu saja selang beberapa tahun kemudian ia lulus dengan nilai gemilang dan
bekerja pada salah satu rumah sakit ternama.

Namun tahun berikutnya bukan tahun bahagia, Paman Bocc semakin renta dimakan usia.

Penyakit mulai melumpuhkannya, ia tak sanggup mengelola bisnisnya seperti dahulu.

Zeline ingin membantu meringankan beban pamannya namun ia sendiri juga punya
warisan kakek yang harus diurus.

Raomole hanyalah satu-satunya pilihan, Zeline berkali-kali menghubungi Raomole, namun
ia tidak pernah bisa dihubungi.

Zeline terpaksa mengendalikan kedua dua bisnis itu
sendirian, sambil berharap Raomole akan pulang selekasnya.

Sakit pamat Bocc semakin parah, hingga ia menghembuskan nafas terakhirnya, tanpa anak
angkat yang sangat ia rindukan kehadirannya.

Raomole kembali, setelah menghilang selama beberapa tahun.

“Kau darimana saja!” Zeline tahu, bukan dia yang sepatutnya marah. Namun ia hanya tidak
tega melihat Paman Bocc kesepian tanpa Raomole.

“Ketika sesuatu kembali padamu, yang kau pedulikan apakah kehadirannya lagi di hidupmu
atau kemana ia pergi selama itu?”
Zeline kala itu mengabaikan perkataan Raomole. “Aku lebih peduli kemana kau pergi
selama itu.”

Raomole tidak datang sendirian, Zeline pun hanya berpikir kepulangan Raomole hanya
untuk melayat almarhum ayah angkatnya. Kenyataannya tidak, ia kembali untuk mengirim
orang yang akan mengurus warisan Paman Bocc.

“Ini Alden, ia akan membantu mengurus bisnis paman.” Raomole memperkenalkan pria
dengan wajah ramah dan penuh ceria itu.

Sekeras apapun Zeline membujuk Raomole untuk tetap tinggal, ia tidak berhasil.

“Dan begitulah… Alden pergi menyusul Raomole dan aku mengikutinya.” Zeline
memandang ketiga anak itu dengan senyuman hangat.

“Oh, hujannya sudah berhenti.” Zeline menunjuk ke luar jendela. Ketiga anak itu tersenyum
sumringah. Zeline mengambil ponselnya. “Kalian masih ada waktu?”

“Ya, ada apa Zeline?” Hamdi bertanya, pertanyaan Zeline menyiratkan makna dalam. Zeline
hanya tersenyum sambil melihat mereka dengan tatapan jenaka.

Draft Ver: Potrait (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang