Mereka Bilang, Ini Tentang Krisis

14 4 2
                                    


“Halo?”

“….”

Hah? Tidak bersuara?

Ia menekan tombol loudspeaker, mengusahakan mendengar jelas suara diseberang.

Lagipula ia sedang sendirian.

“Halo?”

Tidak ada tanggapan.

Di periksanya lagi nomor yang meneleponnya, ia sedikit gentar karena si penelepon tidak kunjung menjawab.

“Halo?”

Dan













































Tidak ada jawaban

Merasa jengkel, ia mendengus.

Kumatikan saja.

“Aku belum bicara.” Seolah tahu telepon akan ditutup, si penelepon baru mengangkat suaranya.

Kenapa tidak bicara dari tadi!

“Aturannya, yang lebih tua yang boleh menutup telepon.”

“Maaf, anda siapa? Dalam aturan menelepon, penelepon harus memperkenalkan dirinya terlebih dahulu. Tidak peduli walaupun dia lebih tua.”

“Kau tidak mengenal suaraku? Semua orang yang mengenalku tahu suaraku.”

“Sepertinya saya tidak mengenal anda.”

“Kita terakhir kali bertemu kemarin.”

“Oh, saya ingat.”

“Bagus, datanglah ke alamat yang ku kirim. Sekarang.”

“Sekarang? Tap....”

Telepon ditutup.

.
.
.

“Aturannya, yang lebih tua yang boleh menutup telepon.”

.
.
.

Menyalahgunakan umur.

Ponselnya bergetar pelan, sebuah pesan dikirim dari nomor si penelepon tadi.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.













**

“Demam.”

Lalu wanita itu beranjak pergi keluar dari kamar.

Yang ditinggal di dalam kamar hanya bisa saling tatap dalam kebingungan.

“Ami?”

Wanita itu berbalik lagi. “Ambil kompres, Amar.”

“Oh, iya.” Amar menyeringai, lalu bergegas keluar dari kamar untuk mencari kompres.

Ami menatap Nisya dengan tajam.

“Tetap di tempat tidur.”

Mau tidak mau ia harus patuh, padahal ia ingin bangkit untuk membuka jendela.

Tatapan itu seolah mengisyaratkan bahwa ia tidak segan memotong kedua kaki Nisya agar adiknya tidak turun.

Ami sudah berlalu.

Nisya meraba dahinya.

Panas?

Ia hanya merasa gerah, dan udara sekelilingnya terasa dingin padahal matahari sudah terangkat sempurna dari tempatnya.

.
.
.
.

“Tidak ada alasan bagiku untuk bisa mempercayaimu.”

.
.
.
.

Untuk pertama kalinya ia tidak merasa ragu membuat keputusan.

Ini juga demi kebaikan semua orang, tidak ada waktu yang lebih baik dibandingkan
sekarang untuk mengatakan hal ini.

Kirim.

**

“Kenapa anda memanggilku?”

“Duduklah.”

Hamdi merasakan canggung, ia tidak pernah menghadapi pria ini sendirian.

“Biasanya bersama Nisya…” Gumamnya, ia merasakan telapak tangannya berkeringat karena gugup.

Ini harusnya normal.

Dua orang pria duduk bercengkrama di sebuah kafe.

Tapi entah kenapa melihat kondisi kedua belah pihak, ini tampak tak layak.

Menghancurkan kesan pertama, ringkasnya.

“Langsung saja, apa kau bisa menjadi penjilat yang hebat?”

Nah.

Jika berbicara tentang bisnis ‘gelap’, bukankah kafe adalah tempat yang sangat tidak wajar?

“Tidak.”

“Kau tahu kalau mereka masih mengincar kalian ‘kan?”

“Ya.”

“Kuberi pilihan.” Siddi menatapnya dengan serius.

“Menghindari kematian atau mengikuti takdir.”

Apa? Tiba tiba?

Menghindari kematian...

Atau mengikuti takdir...

Tidak ada yang bisa menghindari kematian, kan? Tidak ada yang abadi di dunia ini.

Mengikuti takdir? Terdengar mencurigakan, seolah menyiratkan ada hal besar yang disembunyikan dua butir kata itu.

Drrt!

Ponselnya bergetar singkat. Sebuah pesan singkat. Dari pipit.

Disha menghilang. Yumda jadi aneh. Nisya ingin menghentikan penyelidikan. Apa yang harus kita lakukan.

Apa yang harus kita lakukan?

Pria dihadapannya menambah beban dilemanya dengan pilihan…

Antara hidup dan mati?

Draft Ver: Potrait (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang