Persekutuan terburuk di dunia

11 4 1
                                    


"Alden, kau lihat ponselku?”

“Tidak. Hilang?”

Sid tidak menjawab, tangan dan matanya sibuk mencari.

“Aku sudah bilang, jangan meletakkan di tempat yang rumit.” Ujar Alden.

“Tentu saja aku harus menyembunyikannya, melindungi ponselku dari jangkauanmu.”
Siddi berhenti mencari, menatap Alden dengan tajam.

“Semoga kau bisa menemukan ponselmu, aku pergi dulu.”

Kata kata Sid tergiang di telinganya.
Dari jangkauanku?

Tempat persembunyiannya harus
lebih rumit lagi.

Alden menepuk saku jasnya dengan bangga. Merasa hebat setelah mencuri ponsel Sid.

Tiba tiba ponsel curian bergetar.

Alden memeriksa keadaan, setelah merasa berada di
tempat yang aman, ia mengangkat teleponnya.

“Tuan Raomole!” Suara di seberang terdengar tidak sabaran.

“Maaf, tuan? Majikan saya sedang pergi, ada pesan yang hendak dititipkan?”

“Siapa kau?”

“Saya Alden, sekretaris Tuan Raomole.”

“Ya…” Suara diseberang berpikir sejenak. “Katakan pada Tuanmu bahwa aku sudah selesai
memeriksanya, ia harus menemuiku sekarang.”

“Maaf memeriksa apa?”

“katakan saja begitu, dan jika ia bertanya siapa, katakan bahwa aku salah satu teman
lamanya yang ia minta bantuan untuk memeriksa sesuatu.”

Alden merutuki pria tua di telepon itu, ia benar-benar berhati-hati.

“Tuan Raomole terlalu sibuk sekarang, saya akan datang mewakili Tuan Raomole. Bisakah
anda memberikan alamat anda?”

**
“Bagaimana kabarmu?”

“Buruk, mereka belum memberiku uang.”

Disha melemparkan kotak bekal sekali pakai ke atas mejanya.

“Pasti kau ingin menanyakan sesuatu.” Tebak pemuda itu, membuka lembaran lembaran
buku leceknya, menandai disana sini.

“Kau lapar ‘kan?” Disha menghempaskan diri ke sofa reyotnya.

Pemuda itu meletakkan pensilnya, lalu membuka makanan yang dibawa Disha.

Aroma roti menguar dari dalam kotak, pemuda kelaparan itu langsung melahapnya tanpa pikir
panjang. Disha tersenyum, antara gemas dan puas.

“Kenapa kau datang? Kudengar kau sudah pergi.”

“Tadinya.” Disha menghela nafas.

“Tapi aku sadar harus kembali.”

“oh.” Pemuda itu tidak tertarik dengan alasan klasik Disha.

“Kenapa kau kemari."

Disha tersenyum. “Sudah berapa tahun kau jadi perantara bisnis mereka?”

“Si bos? Hm… Sepuluh tahun?”

Disha tersenyum puas. “Bawa buku pencatatanmu dari sepuluh tahun yang lalu.”

“Tidak padaku.” Pemuda itu menggeleng. Disha tidak menanyakan lagi. Ia membiarkan
pemuda itu, hingga beberapa saat kemudian.

HOEK!

Disha berbalik, menatap muntahan itu seolah itu hal yang wajar.

“Apa yang kau rencanakan!”
Disha tersenyum. “Ingat ini? Tali yang menjerat kaki dan tanganmu beberapa waktu yang
lalu.”

Dengan cepat Disha mengikat kaki dan tangan pemuda itu, lagi.
Ditariknya rambut pemuda itu dengan kasar, memperlihatkan botol cairan kecil di
tangannya.

“Sebelum cairan ini meracuni tubuh malangmu… Bicara sekarang, siapa Shei?”

“S,shei?” Pemuda itu terbata-bata.
Disha menjambak rambutnya dengan keras. Pemuda itu memekik.

“Mereka bilang!” Pemuda itu menjerit. “Mereka bilang Shei pembawa kesialan.”

“lebih jelas!”

“Karena Shei, seseorang ingin mengungkap bisnis mereka!”
Disha hendak bertanya lagi, namun pemuda itu menyelanya.

“Selagi aku masih baik, segera
pergi.”

Apa?

“Mereka akan datang sebentar lagi, lihatlah keluar.”

“Kau mengkhianatiku!”

“Aku bosan diperlakukan semena-mena, jadi aku memutuskan membiarkan mereka tahu
bahwa ada yang memaksaku memberitahu tentang mereka.”

“Kau!”

“Tapi aku merindukan kebenarannya diungkap, Haff adalah teman baikku dan aku ingin membantunya mencapai tujuan yang belum ia selesaikan.”

Disha merasakan matanya menghangat, tapi ia tidak akan membiarkan air matanya
mengalir.

“Beri racun itu padaku, mati keracunan lebih baik daripada dihabisi mereka.”

“Ini…” Disha menarik nafas, mencoba menenangkan diri. “Ini bukan racun, hanya air yang
diberi pewarna makanan.”

“Segera pergi, Disha. Kau masih punya waktu untuk menyelamatkan diri.”

Disha mengemas barangnya. Lalu beranjak pergi.

“Disha?”

“Ya?”

“Aku akan merindukanmu.”

Tiga patah kata itu membuat hatinya remuk sekaligus bernostalgia.

.
.
.

“Ibu, aku ikut ibu!”

“Sha, ibumu pergi untuk menyembuhkan penyakitnya.”

“Ibu!”

Ibu diam saja, lalu ia angkat bicara. “Aku akan merindukanmu.”
.
.
.


“Disha, pergi.”

Ucapan pria itu membuyarkan lamunannya.

**

Alden menggenggam berkas itu dengan erat, Ia yakin jika Sid mendengarnya ia akan syok
juga.

Di ujung jalan ia melihat Disha, bersandar di tiang lampu jalan dengan nafas memburu. Ia
tampak baru saja berlari atau, kabur.

“Disha, darimana saja?”

Disha tidak menggubris, ia meremas kerah baju Alden. “Apa yang kau bawa?”

“Whoa, tenang. Aku berencana membagikannya padamu. Duduklah dulu, kau darimana?”

Disha menghempaskan dirinya ke trotoar. “Bukan urusanmu.”

Disha merebut paksa berkas
itu dari tangan Alden. “Apa ini?”

“Salah satu ulah Sid.” Alden menyeringai ringan. “Ia mencoba mencocokkan DNA Shei, si
anak yang dicarinya dan Nisya.”

“Darimana ia mendapatkan DNA Shei?” Disha membalik halaman kertas seolah ia paham
benar apa yang sedang dibacanya.

“Rambut.” Sahut Alden.

Disha berhenti pada jilid kertas yang kedua. “Tunggu, apa ini?”

“Itu rencanaku, kau mau bantu?”

“Apa? Bekerja sama denganmu? Aku lelah!”

“Jika Sid tahu bahwa hasil tes mereka yang sebenarnya… Kau tahu…”

Disha berpikir berapa saat,
“Ayolah, sangat buruk bagi Nisya jika mereka mengetahui bahwa dia adalah Shei.”

Disha menatap Alden dengan sangsi, “Baiklah.”

Draft Ver: Potrait (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang