New Normal: Istirahat & Pembiasaan Baru

21 3 0
                                    

















































































“Kenapa kutukan remedial terus mengikutiku…” Yumda berpangku tangan, meratapi nasibnya.

Nilai itu cukup jelas:

60, too bad.

“Kalau kau giat, mungkit kau bisa menghancurkan kutukanmu.” Pipit dengan santai melahap roti bekalnya.

“kalau begitu, bantulah Yumda belajar.” Ujar Hamdi.
















Yumda dan Pipit saling melirik.


















“KENAPA KAU MENATAPKU, HA?!” Seru mereka berdua hampir bersamaan.

“Ck, Yumda. Sepupuku Laire, pikir kita punya hubungan. Si gila Johne pikir aku melakukan hal nakal, akibatnya aku tidak bisa kemana-mana!” Keluh Pipit panjang lebar.

Nisya dan Hamdi tertawa geli.

“Lihat-lihat, ada pasangan yang tertawa dengan bahagianya.” Yumda tidak melewatkan kesempatan untuk memutar balikkan situasi.

Pipit menyambung dengan semangat. “Aih, serasi sekali. Kenapa kalian tidak coba jalan dulu saja? Lagipula, gosip itu sudah dipercaya semua orang.”




























Nisya melirik Hamdi.
























Hamdi melirik Nisya.

“Kalian!”

“Lihat-lihat, mereka salah tingkah.” Pipit menikmati situasinya, ia tertawa terbahak-bahak.

“Berhentilah merasa bersalah, Disha.”

“Benar.” Pipit menghibur temannya. “karena kau memukul Hamdi, lihat betapa bahagianya ia dirawat oleh kekasihnya.”

“Tapi, aku tidak menoleransi…”


“Kulihat kau cukup puas bisa melihat pahanya Pipit.”


“Tidak kok Disha… Aku hanya bercanda. Hahaha…” Yumda tertawa paksa sementara tangannya menggaruk kepala lagi.

Pipit menatapnya geram. “Pergi sana, monyet kutuan!”

Semuanya tertawa. Disha tersenyum tipis.

Setelah 'peristwa teman menyerang teman'

Mereka bisa menjalankan kehidupan normal mereka.

Normal baru.

Normal yang tercipta namun menyisakan trauma.

Semua tatapan hangat itu memandang Disha, namun di dalam hati mereka…

Menyelidiki Disha adalah pekerjaan sampingan.

Hamdi menatap Nisya, semenjak peristiwa itu Nisya tampak berubah.
Ia ingin mengatakan kepada teman -temannya, namun posisinya sulit.

Mereka hanya beranggapan bahwa Hamdi menyukai Nisya. Ia memutuskan untuk menyelidikinya sendiri.

.
.
.
.
.
.
.
.
.

“Aku walimu…”

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

“BAGAIMANA KAU BISA YAKIN SEDANGKAN KAU KEHILANGAN INGATAN!”

.
.
.
.
.
.
.
.
.

Nisya merasakan keraguan di dalam hatinya, ia tahu segala tentang dirinya.

Satu dua hal yang luput dalam ingatannya, tapi ia bisa dengan segera mengetahuinya.

Tapi sungguhkah, Siddi adalah walinya?

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

“Jika kau tidak punya orang tua, sepertiku… Seseorang harus bertanggung jawab mengasuhku hingga aku dewasa.”

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Tapi aku masih punya orang tua, apa mungkin punya wali walaupun punya orang tua?

“Nisya, kau melamuuuuuun?” Pipit tampaknya sedang kumat penyakit menggodanya.

Nisya tidak bisa menyangkalinya.

“Hanya satu hal yang membingungkan…”




“Apa kau tahu sesuatu?” Disha mendesaknya, itu pertama kali ia bersuara. Disha yakin ada sesuatu yang terjadi setelah ia meninggalkan Nisya di tempat penjemputannya.



“Tidak penting…”

“Segala hal berarti.”

Nisya menatap ketiga temannya yang penuh ingin tahu.

Sedikit berbohong tidak apa ‘kan?


“Sepupuku baru-baru ini meneleponku, ketika ku tanya kabarnya ia bilang perwaliannya
akan berpindah. Tapi ia tidak mau menjelaskannya.”

Pipit menyeringai hingga matanya tenggelam di dalam uluman senyumnya.

“Biar kujelaskan, aku tahu maksudnya.” Ia sudah terkekeh dahulu. “Perwalianmu bisa
berpindah jika misalnya kau dan Hamdi menik…”




“Tidak bisa pakai umpama orang lain?” Hamdi membenamkan wajahnya, Pipit tampaknya
senang sekali menggoda orang lain hari ini.



“Justru jika begini, Nisya lebih paham. Kau mengerti, Nisya?”
Nisya mengangguk.


“Perwalian bisa berpindah jika…”

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

“Aku walimu…”

“Apaa?!”

Mustahil.

Makanya ia seberani itu.

Tapi mungkin saja pria itu berbohong ‘kan?















































“Melihat waktunya sudah lewat separuh jam, mungkin saja guru baru itu tidak masuk ‘kan?”

“Ya, mungkin saja.”


“Hei, salah seorang sepupuku mengajak ke pembukaan toko kuenya, aku ingin mengajak
kalian. Kalian ikut?” Pipit memandangi ketiga temannya silih berganti.

“Jangan percaya padanya, ia banyak berjanji lalu tiba tiba mengubah janjinya. Aku sudah pernah jadi korban janji manisnya itu.”

“Yumdaaa!”

Draft Ver: Potrait (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang