Masalah

45 7 0
                                    


Nisya membuka matanya

Pukul 11 malam

Lalu ia terjaga seratus persen, tampak di hadapannya bayangan siluet raksasa memanjat jendelanya, ia pikir itu mimpi tapi ternyata bukan.

Nisya bangun perlahan, menatap siluet raksasa yang berhasil masuk ke dalam kamarnya.

“Apa maumu?” Tanya Nisya, tapi siluet itu hanya diam.

“Kutanya, apa maumu.” Ulangi Nisya. “Kau datang lagi, hanya diam. Apa maumu? Kau ingin menggangguku, lebih baik kerjakan hal yang lebih bermanfaat.”

Siluet itu masih diam. “sudah cukup, mungkin kau terlalu nyaman karena aku tidak melaporkan tentangmu.” Nisya meraih vas kaca di atas mejanya. Lalu bangkit dan mendekati siluet itu perlahan lahan. Ketika cukup yakin, diayunkan vas itu… celaka!

Tangan raksasa itu menahan ayunannya.

“Kenapa diam saja?! Kau punya mulut untuk bicara!” Jerit Nisya marah.

“Letakkan vas itu.” Ucap siluet raksasa itu. Nisya terkejut, suara berat itu menggelegar
seperti petir. Padahal ia hanya bicara pelan. Siluet itu berlari keluar, melompati jendela. Nisya mengejar.

“Berhenti!” Teriak Nisya. Siluet itu berhenti, menghadang Nisya dengan tangannya yang sangat besar.

“Apa yang akan kau lakukan?” Tanya siluet bersuara berat itu.

“Kenapa kau datang lagi!”

“Kau benar benar tidak tahu bahaya, ya?” Siluet itu tertawa keras. “kuberi kau kesempatan untuk hidup, tapi kau malah mencari mati.”

Nisya menjadi gentar, menyesali perbuatan semberononya. Tangan siluet itu mencengkram
lehernya, nafasnya tersendat. Ia berusaha melepaskan diri namun cengkraman itu makin membuat lehernya tercekik.

***

“hoh…hoh…” Nisya membuka matanya. Ia di dalam kamarnya, terbungkus dalam selimut
tebal yang panas. Nafasnya tersengal, sekujur tubuhnya berkeringat. Matahari telah naik sempurna.

Nisya membuka pintunya perlahan, keadaan kacau dan panik. Wajah ibu yang pucat pasi, kak Amar berusaha menenangkan hati ibu.

“tidak mungkin…”

“Ya, memang tidak mungkin, bu. Mungkin dia sedang sakit, bukan karena apa-apa.”

Sakit? Siapa yang sakit?

“Nisya?” Nisya menoleh, di depannya seorang wanita muda mengulum bibir tipisnya, tampangnya keras dan rambut ikal yang persis sama dengan kakak lelakinya. Ami, itu pertemuan pertamanya dengan Ami.

Suaranya yang serat dan berat itu cukup membuat ibu dan Kak Amar menyadari keberadaannya. Ibu langsung berlari memeluk putri bungsunya, ia tidak bisa menyembunyikan rasa lega atas kebaikan Tuhan untuk memberinya kesempatan bertemu putrinya lagi.

Kak Amar ikut lega, menatap saudara kembarnya yang tak bergeming seribu bahasa. Ami seolah tak punya ekspresi, Nisya ingat bagaimana nenek sangat membanggakan Kak Ami.

Bagi Nenek, Ami sangat luar biasa. Nenek pernah menceritakan tentang bagaimana tangguhnya Ami membawa Amar yang pingsan di tengah hutan saat bermain bersama.

“Sungguh, jika ia memakai pakaian gelap waktu itu, aku tidak akan tahu bahwa dia sedang
terluka.” Kenang Nenek, membayangkan cucu perempuan pertamanya membawa saudaranya dengan luka parah di betis. Ami kecil bersikap seolah tidak punya luka di kakinya, keesokan paginya ia pergi bermain ke sungai sendirian dengan kaki terbebat. Kak Amar menepuk kepalanya dengan lembut. Ibu meraba dahi Nisya.

“Apa yang terjadi…” Tanya Nisya.

“Ibu hendak membangunkanmu tadi pagi, tapi kau tidak bergerak ataupun merespon seperti yang seharusnya. Kau baik-baik, saja?”

Hmh… Aku membuat Ibu khawatir lagi, ini salahku karena mengejar si jahat itu.

“Iya, bu… Aku baik-baik saja.” Nisya tersenyum riang, mencoba meyakinkan ibunya bahwa
dia baik-baik saja.

Draft Ver: Potrait (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang