Terlalu Banyak

9 3 0
                                    


Kau harus buktikan identitasmu, kau tidak bisa biarkan ia mempercayai anggapannya sendiri.

"Dengan itu, aku harus mencari surat penting yang bisa membuktikan siapa aku."

Nisya menelusuri Lemari besar penuh buku itu dengan cermat. Ada berbagai arsip dan semuanya diberi label. Ia sendiri tidak yakin apa yang harus dicarinya.

"Yang ini?" Nisya meraih sebuah map kulit tanpa label.

"Apa yang kau lakukan?"

















































Gawat.

Ketahuan.

Ami mengulangi pertanyaannya lagi, namun suaranya melunak.

"Apa yang kau lakukan di kamar ibu."

"Eng... Aku..."

Ami melihat adiknya mendekap map kulit di tangannya.

Ami mengulurkan tangannya, dengan terpatah-patah Nisya memberikannya.

"Ini punya ibu, isinya sangat penting."

"Aku tahu, aku sedang mencari..."

"Apa?"

"Apa yang kalian lakukan di dalam?" Amar ikut masuk ke dalam.

Amar tertegun melihat Ami. "Ibu sudah bilang, kau tidak boleh menyentuhnya."

"Kak Amar! Bukan Kak Ami, tapi itu aku."

Amar menghela nafas, sebagai tertua ia harus mengendalikan situasi.

Ami beranjak keluar dari kamar ibu. Amar mengembalikan map itu ke tempat semula.

Itu hanya map surat penting 'kan? Kenapa kak Ami tidak boleh menyentuhnya?

"Kak Amar."

"Ya?"

"Kenapa kak Ami tidak boleh menyentuh map itu?"

"Entah, ibu hanya mengatakan aku tidak boleh membiarkannya membuka map ini."

"Itu terdengar aneh."

"Ya. Begitulah."

Aku harus dapatkan sesuatu, ini tidak boleh berakhir sia-sia.

"Apakah ada suatu surat aneh di dalam map itu, Kak Amar?"


"Aneh?"


"Maksudnya... Kau tahu..."


Mudah-mudahan dia tidak curiga...

Kenyataannya memang tidak.

"Ya. Memang ada yang aneh." Kata Amar dengan santai.

Nisya tercengang.

Sepraktis itu?

Amar mengusap pipi Nisya dengan penuh kasih sayang.

"Beberapa tahun yang lalu, aku menemukan..."

"Amar."

Amar dan Nisya menoleh. Ami berdiri di depan pintu dengan keranjang cucian.

"Kau berjanji akan mengangkat jemuranku ketika hujan."

Nisya menoleh, titik-titik air membasahi kaca jendela.

"Oh, aku lupa! Maaf, A..."

Terlambat, Ami sudah berlalu.

"Gawat, sebaiknya kita memasak makan malam. Kau bisa menolongku 'kan?"

"Tentu." Nisya mengekori kakak lelakinya ke dapur.

"Aku merasa sangat tidak enak jika mempersulit Ami."

Nisya menoleh.

"Apa kak Ami pernah marah?"

"Ya, eh maksudku tidak! Seperti yang kau lihat, Ami tidak pernah mengutarakan apa yang ia rasakan. Baik senang atau sedih."

Bohong. Kelihatan sekali.

"Kenapa kau berbohong?"

Amar diam sejenak.


"Aku menemukan dokumen aneh terselip diantara beberapa map kerja ibu."

"Aku ta..."

"Surat adopsi."

"Aku walimu..."

Terasa seperti petir menyambar...

"Kau tidak bisa menjahili Nisya seperti menjahiliku."

Ami kembali entah darimana.

"Ponselmu terus berdering di kamar, aku ambil alih dari sini." Ami mengambil pisau dari tangan Nisya, lalu melanjutkan mengiris cabai yang baru saja dimulai.

**

"Halo?"

"Ini aku, Hamdi. Kau tidak sendirian 'kan?"

"Tidak, aku bersama kedua kakakku."

"Syukurlah kalau begitu, aku mengkhawatirkanmu."

"Bagaimana denganmu, Ha..."

Telepon diputus.

Apa?

Kenapa dengan Hamdi?

"Ho,ho,ho. Kulihat kau senyam senyum sendiri."

Nisya menoleh.

Amar menyeringai jahil. "Pacar?"

Nisya menggeleng cepat.

Kenapa semua orang menganggap demikian...

"Baiklah, jika kau tidak mau mengaku. Ami menyuruhku pergi dari dapur, aku tidak cocok disana. Apa kau mau membantunya?"

"Ya." Nisya segera keluar dari kamarnya.

"Terima kasih, pacarmu sangat beruntung memiliki pacar sepertimu."





Seandainya yang bicara itu Didin, ia bisa membalasnya tanpa ragu.




"Oh, Nisya. Bisakah kau mengecilkan apinya?" Ami menoleh, tangannya sibuk mencuci sayuran.

"Terima kasih."

Dapur menjadi hening kembali. Karakter yang bertolak belakang dari saudara kembarnya, Amar. Ami tidak banyak bicara, atau karena ia canggung?

"Aku mengkhawatirkanmu."

Sial, pikirannya kembali kesana lagi.

"Kau sakit? Istirahatlah ke kamar, aku bisa selesaikan sisanya."

"Bukan itu..."

"lalu?"

Nisya melirik Ami dengan hati-hati, apa reaksinya jika ia menanyakan hal konyol.

"Kak... Menurutmu... Kenapa seorang teman lelaki mengkhawatirkanmu?"

"karena ia menyayangimu."

Apa? Reaksi yang tidak terduga.

"Apa kau pernah mengalaminya?"

"Ya. Mungkin. Entahlah. Aku tidak ingat."

Ami menyembunyikan senyumannya, tapi Nisya masih bisa melihat dari sinar matanya....
















Betapa Ami mengenang masa lalunya.

Draft Ver: Potrait (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang