Ekstra 8

1K 203 19
                                    

Bahkan ketika waktu telah semakin larut dan langit tak lagi dapat menampakkan gumpalan awan putih yang bergerak beriringan, Kwon Jungkook masih termenung di tempat, di balik jendela dengan wajah sendu nan pucat. Beberapa kali pemuda itu menghela napas untuk mengusir lelah, berjam-jam lamanya hanya dihabiskan dengan termenung dan isi kepala yang berkelana ke mana pun ingin dituju.

Kulit bibirnya agak mengelupas sebab kekurangan cairan, tampak tak sehat akan tetapi pemuda tersebut tak peduli dengan keadaannya. Sepuluh menit lalu ibu datang mengantarkan makanan dan beberapa obat tambahan, tidak seperti biasanya, karena biasanya yang melakukan hal tersebut adalah asisten rumah tangga yang telah bekerja di rumahnya selama lebih dari lima belas tahun.

Matanya melirik pada ponsel tergeletak percuma di atas meja belajarnya yang telah penuh dengan buku-buku, sebenarnya tak ia baca sebab jenuh pada perihal bisnis yang ayahnya paksakan untuk ia mengerti. Ia sudah mengikuti ujian masuk universitas, lebih cepat dari jadwal penyelenggaraan biasanya, hanya tinggal menunggu hasil lalu melanjutkan pendidikan sebagaimana mestinya ayah inginkan untuknya sejak dahulu.

Sayangnya, menjadi pemberontak tak dapat ia lakukan. Kakaknya dengan terang-terangan menolak untuk meneruskan perusahaan, jadi satu-satunya yang dapat diharapkan adalah dirinya.

"Kenapa dia tidak menghubungiku lagi? Apa dia mulai melupakanku?" sesungguhnya Jungkook amat gelisah, bertanya-tanya dalam diam kenapa Jia tak lagi menerornya dengan pesan ataupun panggilan, ini bahkan telah hampir satu minggu sejak terakhir kali ia menghubungi dan berjanji akan datang.

Pemuda itu bukannya ingin membual dan mempermainkan perasaan Song Jia, karena jelas sedikit banyak gadis itu telah mencuri perhatiannya. Gadis pertama yang mencak-mencak serta menyerbu dengan rentetan kalimat ketika dirinya mengganggu, Jia berbeda, entah kenapa itu yang selalu ada di dalam kepalanya tiap kali ia berpapasan atau bersua muka dengan gadis itu.

Agaknya Jungkook mulai membuat kesimpulan sendiri bahwa Jia pasti telah lelah menantinya terus-menerus tanpa memiliki kejelasan sedikit pun, bahkan untuk menyesali dirinya yang tak pernah datang untuk gadis itu pun percuma, sebab itu tak akan membuatnya berada segera di sisi gadis itu dan menemani sepanjang hari hingga lelap menjelang dan ia dapat menjaga.

Jungkook ingin sekali, ingin sekali melihat bagaimana senyum cerah Jia mengisi ruang matanya, mendengar tawa riang dan cara Jia mengumpat padanya. Tetapi bahkan untuk sekadar mengendarai sepeda berkeliling halaman rumahnya saja ia tak sanggup, tubuhnya begitu berat untuk dibawa, kondisinya kian memburuk dan nyaris membuatnya putus asa sebab kenapa di saat-saat penting ia tak mendapatkan kesempatan setidaknya untuk melukis sedikit memori yang dapat terkenang oleh siapa saja yang melaluinya.

"Jung, kau yakin tidak ingin pergi?" suara itu bersumber dari balik pintu bercelah, seketika Jungkook menoleh ke arah sana dan mendapati ibu tengah tersenyum lembut kepadanya. Pemuda itu sempat ingin menggeleng jika ibu tak melanjutkan dengan kalimat, "kau sudah lama mengurung diri seperti ini, sudah dua minggu sejak terakhir kali kau keluar rumah dan itu pun untuk mengurus perusahaan."

Ibu pikir Jungkook akan berubah pikiran usai mendengar serentetan kalimat yang disangka akan membangkitkan sedikit dari semangat hidup putra bungsunya tersebut, akan tetapi gelengan kepala yang tampak jelas membuat ibu menghela napas merasa kecewa sebab telah melakukan berbagai cara agar Jungkook berhenti mengurung diri, setidaknya untuk keluar dari kamar dan sekadar berjalan-jalan di halaman belakang rumah untuk menghirup udara segar.

Menyerah sebab tiada lagi hal yang dapat dilakukan untuk membujuk Jungkook keluar dari kamarnya, ibu berpamitan ditutup dengan senyum lembut sebelum menutup pintu dan pergi, kembali meninggalkan Jungkook dalam kesendirian yang kemudian larut dalam angan berkelana. Masih mencari-cari sendiri penyebab kenapa Song Jia tak lagi meneror dirinya dengan puluhan pesan singkat dan panggilan tak terjawab, dan tentu saja itu membuatnya nyaris gila.

𝟏𝟑 𝐑𝐞𝐚𝐬𝐨𝐧𝐬 𝐖𝐡𝐲 𝐈 𝐇𝐚𝐭𝐞 | ✓Where stories live. Discover now