Ekstra 6

1.4K 233 15
                                    

Aku tak henti berusaha untuk terus menghubungi Jungkook. Sial, pertemuan antar keluarga ini sungguh membuatku muak, ibu dan ayah benar-benar merencanakan pernikahan. Konyolnya, mereka bahkan tak bertanya pendapatku terlebih dahulu. Dengan santainya membicarakan jumlah undangan dan model gaun pengantin yang akan aku gunakan nantinya.

Sungguh, sangat muak.

Kenapa, kenapa pada saat ini orang tua masih saja memaksakan kehendak mereka terhadap anak-anaknya. Toh, yang menjalani juga anak-anak mereka. Tidakkah mereka berpikir tentang apakah anak-anak akan merasa bahagia jika mereka melakukan sesuatu dan memaksakannya?

Kenapa aku harus terjebak di keadaan seperti ini. Si sialan Taehyung itu bahkan tak mencoba untuk menolak atau menginterupsi obrolan, hanya terdiam layaknya dungu yang tak mengerti apa-apa. Aku benar-benar kesal sebab kepulanganku ke Ansan malah membuatku terjebak dalam ikatan pernikahan menggelikan. Aku ingin kuliah, aku ingin jadi sarjana dan mendapatkan pekerjaan, aku ingin berkarier dan membangun perusahaan sendiri.

Ini bahkan belum memasuki langkah awal dari perencanaan tersebut dan aku sudah dikalahkan? Hah, hidup macam apa yang sedang aku jalani saat ini?

Aku memilih keluar lebih dulu saat para orang tua memutuskan untuk makan siang usai diskusi melelahkan yang membuatku muak, duduk di halaman belakang adalah pilihan terbaik sebab di sana cukup sepi agar aku bisa nyaman sendirian. Ponsel di genggaman tangan seperti tak lagi ada gunanya, tiada yang memberi kabar, menghubungi atau sekadar mengirim pesan. Dan aku mulai muak kepada Jungkook yang hanya terus berjanji tanpa berusaha untuk menepatinya.

Sudah berapa kali? Ah, entah. Aku tak ingin mengingatnya, kepalaku sakit.

Lalu ditambah dengan kedatangan Taehyung yang tiba-tiba saja menempati bangku kosong di sebelahku. Aku memandangnya sengit, sebagai isyarat bahwa aku tak menyukai eksistensinya di sekitarku. Oke, aku tahu ini rumahnya dan ia bebas untuk menempatkan bokongnya itu di mana pun ia inginkan. Tapi serius? Dia harus duduk di sini dan mengganggu waktu sendiriku, aku hampir meledak dan bisa saja membuat kekacauan. Tetapi agaknya Taehyung ini kurang mengerti situasi dan senang sekali menempatkan dirinya di mana pun asalkan atensi dapat dialihkan pada dirinya.

"Bisa tidak kau mencari tempat duduk yang lain?" sarkastik, tapi tak apa sebab ini adalah hari yang benar-benar menyebalkan untukku.

Kemarin, usai bertengkar dengan ibu hingga ibu memutuskan untuk mengemasi sendiri barang-barangku, sesampainya di Ansan aku hanya mengurung diri, mengambil seluruh barang-barang milikku dari bagasi dan menyeretnya seperti orang kesetanan. Aku tak memedulikan omelan ibu lagi, persetan dengan rasa malu sebab Taehyung masih di sana untuk membantu membawakan barang-barang orang tuaku. Aku hanya tak suka kembali ke Ansan hanya karena alasan konyol yang sangat aku benci.

Pembahasan penting, urusan penting, atau apalah itu namanya.

Aku tak suka, ah tidak, sangat benci jika harus terjebak bersama Taehyung selama sisa hidupku. Hidup dalam satu atap dengan sebuah ikatan sakral yang aku bahkan tak pernah pikirkan, memakan hasil dari kerja keras Taehyung, melayani pemuda konyol itu dalam segi apa pun. Astaga, aku merinding.

"Aku juga tidak tahu alasan Ibu mendadak pulang ke Korea hanya untuk urusan ini, kenapa kau membenciku seolah-olah ini semua adalah keinginanku?" Taehyung membela diri, wajahnya yang sulit aku artikan itu dihadapkan pada langit siang hari.

"Karena kau tak berusaha untuk mencegah atau menghentikan, kenapa kau jadi lembek begini Taehyung? Dulu kau tak seperti ini."

Terkejut, aku terkejut ketika Taehyung tiba-tiba saja menoleh padaku, keningnya itu agak berkerut dengan mata menyipit. Baiklah, ini menyeramkan, dan aku tidak tahu bagian mana pada kalimatku yang menyinggung perasaannya hingga pandangannya berubah begitu tajam padaku. Namun anehnya, kini sorotnya berubah, sendu dan kelabu seraya bahunya yang tegap itu merosot perlahan, lalu pandangannya kembali lurus, terfokus pada bentang langit yang juga ikut muram bersama raut wajahnya.

"Inginnya seperti itu." Taehyung mendekih. "Tetapi terakhir kali aku menjadi pemberontak, aku menciptakan dosa yang tak akan pernah dapat diampuni."

Aku ikut mendekih, tak habis pikir pada pemuda yang dahulunya amat tidak aku sukai sebab selalu menjahili dengan hal-hal menjijikan hingga aku menangis ketakutan. "Kata-katamu terlalu tinggi, aku tidak mengerti."

"Kau tahu kenapa akhirnya aku menyetujui keinginan Ayah untuk mengambil bisnis saat kuliah?" aku menggeleng, memberi jawaban tanpa suara sedang perhatian aku putuskan untuk diberikan padanya. "Hari itu aku bertengkar dengan Ayah, situasinya sangat rumit dan Ibu hanya bisa menangis setelah berkali-kali gagal memisahkan. Aku tetap pada pendirianku, dan Ayah tetap memaksaku. Ayah pergi saat aku memutuskan untuk tinggal sendirian. Aku tak tahu jika pertengkaran itu bisa begitu menekan Ayah, dan aku tak tahu jika hari itu adalah hari terakhir aku dapat bertemu Ayah karena Ayah pergi untuk selamanya."

"Tapi, pria di dalam sana, yang bersama ibumu?" aku tergagap, menunjuk-nunjuk pria di dalam rumah yang dapat kulihat dari sudut mata sedang tertawa sembari menghabiskan makan siang bersama orang tuaku dan Ibu Taehyung.

"Itu pamanku, adiknya Ayah. Paman yang selalu membantu Ibu selama di Jepang setelah kepergian Ayah." kini Taehyung kembali menoleh padaku, menyematkan senyum kecil yang begitu unik, hingga tangannya bergerak untuk mengusap kepalaku yang masih saja didera kebingungan. "Aku tak ingin peristiwa seperti itu terulang lagi, Ji. Sudah cukup Ayah, tidak untuk Ibu. Karena jika Ibu ikut pergi aku tak tahu apa yang harus aku lakukan dengan diriku sendiri."

"Tapi Taehyung, kau tak harus mengorbankan kebahagiaanmu seperti ini." merengut, merasa bersalah sebab telah menuduh Taehyung dengan hal yang tidak-tidak. Jika saja pemuda itu mau bercerita sejak awal mungkin aku tidak akan membencinya seperti ini, tetapi tetap saja, meski aku sudah tahu penyebabnya aku tetap tak ingin menikah dengannya karena aku tak memiliki rasa sedikit pun.

Taehyung kembali tersenyum, menyingkirkan tangannya dari kepalaku lalu menghela napas. "Aku tahu, tapi aku akan berusaha bahagia agar Ibu juga lebih bahagia." senyumnya kian melebar. "Kau tak harus menjalani dengan terpaksa, Ji. Kita hanya akan tinggal satu rumah, aku akan mengurus urusanku sendiri dan kau bisa mengurus urusanmu. Tidak perlu bekerja sebagai seharusnya istri, aku tidak akan melarang jika kau ingin kuliah, aku akan membantumu untuk itu, katakan saja jika kau butuh dana atau yang lainnya."

"Taehyung, kenapa hidup ini menjadi menyebalkan sekali?"

"Karena kau tak mencoba untuk mengambil sisi positif dari setiap peristiwa yang melalui hidupmu, cobalah untuk belajar, Ji. Buang segala hal negatif, kau hanya harus berjalan di muka bumi dengan hal-hal positif."

Aku tahu, Taehyung. Tetapi tetap saja, aku merasakan jika hidupku saat ini tak lebih dari sebuah nasib buruk yang bahkan aku tak bisa mengatasinya sendiri. []

_____
a/n: hai!! Apa kabar? Makin dekat sama akhir, nih. Wihh, jadi siapa yang udah gak sabar buat ketemu sama akhir dari 13 Reasons Why I Hate? Hemmm hemmm... Aku gak tau ya endingnya bakal jadi kejutan apa nggak, tapi aku harap kalian puas sama cerita yang aku sajikan.

Oke, stay healthy and stay positive tho!!

Love yourself,
.tata

𝟏𝟑 𝐑𝐞𝐚𝐬𝐨𝐧𝐬 𝐖𝐡𝐲 𝐈 𝐇𝐚𝐭𝐞 | ✓Where stories live. Discover now