Ekstra 3

2.1K 328 28
                                    

Jungkook, aku khawatir. Aku harus bagaimana?

Tetapi agaknya, segala kalimat yang ingin sekali aku luncurkan pada Jungkook hanya dapat aku pekik di dalam benak. Tidak ini sama sekali bukan hal bagus. Bagaimana mataku melihat ibu dan ayah datang bersama seorang pria tinggi menjulang, Seo Taehyung di sana, dengan setelan jas dan wajahnya yang angkuh. Ini membuatku muak, aku tak suka, aku sangat benci.

Sudah berkali-kali aku berkata, bahwa Taehyung tidak boleh datang ke hari pengumuman kelulusanku. Hanya harus ada ayah dan ibu, hanya itu. Namun, apa yang aku dapati ketika wajahku berpaling karena ibu memanggilku untuk memberitahu kedatangannya, si angkuh itu di sana, masih dengan gayanya bertahun-tahun lalu. Aku masih ingat betul, bagaimana kejamnya Taehyung merebut permen yang ibu belikan dan menghabiskannya tanpa merasa berdosa sedikit pun. Atau saat dia dengan sengaja mendorongku masuk ke dalam parit, kemudian berlari sekencang mungkin setelah mengejekku bau.

Aku membenci Taehyung, dan rasa itu tak pernah hilang hingga saat ini. Ibu bahkan tahu jika hubungan kami tak pernah baik, sungguh, dengan membawa Taehyung datang ke hari kelulusanku tak akan mengubah keadaan.

"Ibu, kenapa⎯ "

"Ibu sengaja membawa Taehyung, agar dia tahu bagaimana kau tumbuh, Sayang."

Wajahku sudah masam sejak awal mataku melihat eksistensinya yang berjalan di belakang ibu dan ayah. Bagaimana, ya? Sulit untuk menjelaskan bagaimana keadaan Taehyung saat ini. Penampilannya jelas berubah, bukan lagi anak lelaki yang dulu sering menghirup ingus yang keluar dari lubang hidung, atau berteriak tak jelas layaknya mencari perhatian. Sekarang jelas jauh berbeda.

Tidak, aku bukan tipe orang yang dapat menyembunyikan benci hanya untuk menjaga imej. Jika sudah benci, ya, aku benci. Hingga yang dapat aku lakukan hanya menatapnya sinis lalu berdecih pelan, kemudian aku menuntun ayah dan ibu menuju aula sekolah tempat berkumpulnya para orang tua.

Sebenarnya, yang sejak tadi aku nanti kedatangannya bukan orang tuaku saja. Aku juga menanti Jungkook yang katanya akan datang pada hari kelulusan, tetapi hingga saat ini batang hidungnya belum terlihat. Kupikir, Jungkook sedang ada urusan yang harus diselesaikan lebih dulu sebelum datang, akan tetapi ponselnya tak dapat dihubungi dan itu membuatku resah hingga rasanya frustrasi.

Aku hanya berharap dia menepati janjinya.

Tetapi, setelah waktu berlalu dan hasil pembelajaranku selama tiga tahun lamanya diserahkan padaku, aku tak juga melihatnya. Kursinya kosong, seperti berkata bahwa Jungkook lebih mementingkan hal lain ketimbang hari kelulusan dan janjinya padaku. Ini membuatku sedih, tak mengerti, kenapa rasanya terluka hanya karena seseorang yang tak hadir, bahkan aku dan Jungkook tidak begitu dekat untuk dikatakan teman.

Tubuhku kembali terduduk, gelisah dalam benak yang entah kenapa kian menjadi-jadi. Lantas beberapa jam setelahnya, usai seluruh hasil belajar dibagikan kepada seluruh alumni, acara dibubarkan. Ibu dan ayah lekas menghampiriku ketika kerumunan alumni berusaha meninggalkan aula sekolahㅡmasih dengan Taehyung yang mengekor di belakang merekaㅡdan kulihat ada beberapa alumni yang melirik lelaki itu lalu tersenyum malu-malu ketika Taehyung melirik melalui ujung mata.

Gila! Mereka semua gila!

Memangnya apa yang dilihat pada lelaki menyebalkan hingga ke tulang-tulang itu? Oh benar, fisik memang dapat membutakan. Bukankah kebanyakan orang selalu menilai orang lain melalui fisik yang mereka punya? Ah tentu saja, bukan hal yang aneh lagi. Tetapi melihat seperti ini terus-menerus aku jadi muak, setelah mengagumi Kwon Jungkook sampai ke tulang-tulang maka sekarang Seo Taehyung. Astaga, ada apa dengan manusia-manusia ini? Mata mereka terlalu liar hingga siapa pun pria yang dirasa tampan akan menyukai mereka dan menjadikannya idola.

Ugh.

Ibu tersenyum lebar padaku, sedangkan ayah tak berhenti mengusap kepalaku seraya memeriksa hasil belajarku yang ayah bilang memuaskan. Sebenarnya, orang tuaku tak pernah menuntut untuk mendapatkan nilai terbaik dan menjadi yang nomor satu. Ayah tidak pernah berharap lebih, hanya berpesan agar aku belajar dengan sungguh-sungguh, ibu juga seperti itu. Hanya saja, rasanya kurang jika aku hanya menjadi siswa baik tanpa berusaha mendapatkan nilai terbaik yang dapat aku miliki. Meski aku tergolong siswi yang berlangganan lima besar, nyatanya aku kalah pamor dari siswi cantik yang senang sekali berpakaian ketat dan menebar kaki indah.

Tahu-tahu ibu dan ayah sudah beranjak dari tempat usai aku melirik sinis ke arah dua siswi yang melintas dan cekikikan melihat Taehyung yang berdiri di hadapanku, lalu yang aku dapati adalah kedua orang tuaku yang sedang mengobrol dengan Guru San⎯ wali kelasku⎯ yang baru saja usai mengobrol dengan orang tua siswa lainnya. Sedang Taehyung masih berdiri di tempatnya, enggan beranjak karena aku yakin lelaki ini tak memiliki tujuan, lagi pula dia juga tak tahu denah sekolah

Rasanya, malas sekali berurusan lagi dengan manusia ini.

"Kenapa kau datang?"

"Galak sekali, sih. Jika bukan ibumu yang meminta aku juga tidak mau datang, membuang-buang waktu saja."

Astaga, ternyata perangainya belum juga berubah. Aku pikir, dengan penampilannya sekarang tingkahnya itu juga akan berubah, setidaknya sedikit lebih sopan dan tidak mengundang orang untuk marah tiap kali bibirnya itu bicara.

"Masa bodoh, aku tidak suka kau di sini. Lagi pula, kenapa kau harus pulang? Apa Jepang sudah terlalu sesak untuk orang udik sepertimu?" itu sindiran, tandai dengan baik. Tetapi bodohnya, si idiot yang kerap kali tersengir dengan bibir yang berbentuk persegi itu tak bergeming. Matanya memang begitu, seperti sinis padahal hanya menatap biasa saja. Sedikitnya, aku memahami bagaimana Taehyung ini.

"Bicaramu masih kasar saja, tidak mau mengubah bahasamu? Atau ingin aku membantumu mengubahnya?"

"Ubah dulu dirimu sana. Di mataku kau masih bocah kecil yang senang mengganggu anak-anak perempuan."

Tetapi Taehyung hanya tertawa sengau, berpaling ke arah lain sejenak lalu kembali menatapku dengan pandangan yang lebih intens. Tetapi aku tidak takut, aku sudah menjadi kebal karena lelaki itu terlalu sering berbuat jahil padaku dahulu. Lihat saja, siapa yang lebih tangguh dan siapa yang akan kembali ke rumah dengan dagu berlipat sembari mengumpat.

Lalu yang terjadi setelahnya sungguh di luar dugaan, saat tiba-tiba Taehyung membungkuk karena jelas aku jauh lebih pendek dibandingkan si jangkung yang sering kali diandalkan untuk memaling buah jeruk milik tetangga yang memang sedang berbuah begitu lebat. Hingga pekik tertahan dapat aku dengar dari beberapa alumni perempuan yang mungkin memperhatikan interaksi tak bersahabat kami sejak awal, ketika Taehyung menarik wajahku lalu mencium pipi kanan nyaris menyentuh sudut bibir yang tentu saja membuatku amat terkejut.

Sialan!
Si bedebah ini minta dirusak masa depannya menggunakan tendangan mautku. []

𝟏𝟑 𝐑𝐞𝐚𝐬𝐨𝐧𝐬 𝐖𝐡𝐲 𝐈 𝐇𝐚𝐭𝐞 | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang