"Kenapa Rel? Aku hanya akan menjadi parasit buat kamu! aku akan menjadi beban dalam hidup kamu!" Suara Larisa mulai melemah.

"Kamu bukan parasit Ris, bahkan jika kamu berkata kamu pisau untukku, aku akan tetap mendekapmu erat, karena apa? karena rasa nyaman itu ada hanya saat aku bersamamu."

Farel kini membawa Larisa ke dalam pelukannya, mendekap erat gadisnya.

Ucapan Farel mampu membuat Larisa diam, apa dia sanggup mengusir kekasihnya, bahkan setelah mendengar untaian kata yang mampu membuat darahnya berdesir dan hatinya luluh.

"Kamu laki-laki bodoh Rel yang tetap bersamaku bahkan saat aku mulai membenci duniaku." Larisa berucap seraya memukul ringan lengan kekasihnya, gadis itu masih menangis di dalam dekapan nyaman lelakinya.

"Dan kamu gadis beruntung yang bisa memiliki lelaki itu."

Tangan Farel mengelus pelan surai hitam gadisnya, lelah ditubuhnya seakan menghilang setelah melihat Larisa, namun tidak untuk pikirannya yang terus menerka-nerka, ada apa sebenernya, mengapa bisa gadis dalam dekapannya ini mendapat rumor sampah di luaran sana? Dan apa penyebab gadisnya mengalami kecelakaan sehingga membuat kedua kakinya tak bisa berjalan lagi?

Farel memilih membopong Larisa, membuat gadis itu kini terbaring di atas ranjang rumah sakit.
Bola mata Larisa terasa perih, kelopak mata indahnya ingin sekali terpejam, melanjutkan tidurnya yang baru beberapa jam.

Begitu juga dengan Farel yang belum tidur sama sekali, perjalanan yang panjang membuat lelaki itu berjaga dan sibuk memikirkan gadisnya.

Farel membenarkan letak selimut Larisa, matanya melirik ke luar jendela yang masih terlihat petang, mungkin waktu masih menunjukkan pukul 04.10 WIB.

"Ris, aku istirahat bentar di sini boleh?"

Larisa mendadak gugup, matanya mengerjap berkali-kali, seranjang dengan Farel pasti akan membuat jantungnya seperti lari maraton, padahal gadis itu berpikir jika Farel akan jijik padanya, namun kenyataannya tidak, lelaki itu bersikap seperti sebelumnya.

"Bo,,leh."

Farel melepas sepatunya, lantas ikut berbaring di samping gadisnya, jarak yang begitu dekat membuat Larisa semakin gugup, belum lagi tidur satu bantal bersama lelaki itu membuat nafas Larisa tercekat.

Farel menghadap kearah Larisa, memandang manik hitam yang beberapa hari ini tidak dilihatnya, tangannya menyingkirkan beberapa helai rambut yang menjuntai menghalangi penglihatan gadisnya, mengusap dengan pelan pipi yang terdapat goresan luka di sana.

Jika saja kondisi bisa diputar balikkan ia rela menggantikan posisi gadisnya sebelum kecelakaan waktu itu, ia tau kondisi ini sangat sulit untuk Larisa, begitu juga untuk dirinya, memandang wajah gadisnya yang sendu membuat perasaannya berkali-kali ikut tersayat.

"Jangan pernah berpikir untuk pergi dari dunia ini Ris, karena duniaku akan ikut hancur detik itu juga." Farel berucap sebelum memejamkan matanya.

Tangan Farel berpindah memeluk pinggang Larisa, lelaki itu mulai memejamkan matanya, sedangkan Larisa tengah mati-matian agar detak jantungnya yang begitu cepat tidak terdengar oleh lelaki di sampingnya saat ini.

°°°
Sinar mentari yang sudah naik setinggi tombak berhasil menyilaukan mata Larisa, gadis itu mengerjapkan kelopak matanya pelan.
Rentinanya menatap Farel yang masih terlelap di sampingnya.

Jemari Larisa bergerak menyusuri wajah tampan kekasihnya, bermula dari kelopak mata yang terlihat damai saat terlelap, garis hidung yang mancung, berpindah ke bibir merah penuh yang begitu menggoda, Larisa berhenti lama di sana, bibir itu sering mengeluarkan kata-kata yang begitu manis untuk didengar.

Larisa and The Ice BoysWhere stories live. Discover now