55. sad night

680 48 18
                                    

Getaran ponselnya mampu membuyarkan lamunannya, terpampang sebuah nama yang membuat bibirnya mendesah pelan.

"Halo" ucap suara dari seberang.

"Kenapa?" Sahut Farel tanpa ingin berbasa-basi.

"Kamu dimana?"

"Di jalan."

"Bisa ke rumah gak Rel? Aku sakit gaada siapapun di rumah, please,,"

Sambungan terputus begitu saja, kini kebingungan bersarang di kepalanya, namun ia memutuskan untuk menemui gadis itu. Ditengah hiruk pikuk lalu lintas Farel tetap sabar menunggu.

°°°
Hari semakin petang, sang mentari akan segera berganti tugas dengan purnama, keindahan senja kini terlihat samar-samar, Farel baru saja sampai di depan rumah bernuansa biru, rumah dengan halaman yang begitu luas namun tak terawat, rumah yang dulunya asri kini daun-daun kering berserakan.

Langkah tegapnya tertuju pada pintu cokelat dari kayu yang masih kokoh, dengan ragu tangannya menekan bel disana, ia berpikir apakah tujuannya kesini benar?

Tak ada sahutan dari dalam, pintu yang ia pikir terkunci nyatanya tidak, dengan ragu Farel membukanya lantas mulai melangkahkan kakinya.

Aroma vanila menguar memenuhi ruangan, hening seperti tidak ada kehidupan di dalamnya, Farel semakin tak yakin apakah rumah ini masih ditempati.

"Nes,," panggi Farel pelan, dan nyatanya tetap tidak mendapat respon.

Langkah tegapnya membawa Farel ke ruang tengah, disana ada sofa dan seorang gadis yang tengah terlelap.

Farel melangkah lebih dekat, tadi itu kini membuka matanya, senyumnya mulai mengambang melihat kehadiran lelaki yang ditunggunya sejak tadi.

Nesya mulai membenarkan posisi duduknya, menunggu agar Farel segera duduk disampingnya, namun sepertinya Farel tidak akan melakukan hal itu, lelaki itu memilih berdiri tegap dan menatap dingin ke arahnya.

"Bagus ya Nes akting Lo," ucap Farel tanpa basa-basi.

Nesya menunduk sebentar, menghirup nafasnya dalam-dalam lantas memandang kembali ke arah Farel.

"Rel, kamu bisa gak jangan dingin-dingin ke aku."

Farel hanya diam tak ada niatan untuk membalas ucapan Nesya.

"Rel, aku rindu kamu, sangat."

Farel memilih berbalik, kakinya memilih melangkah ingin segera beranjak dari rumah ini.

"Rel, kemana? Dengerin aku ngomong dulu!"

"Udah sembuh kan Lo?" Tatapan mata itu semakin menajam.

"Rel, fisik ku memang gak sakit, tapi hatiku sakit Rel, aku jauh-jauh datang ke Indonesia hanya buat kamu, semua aku tinggalin disana demi kamu, keluargaku, sekolahku, teman-teman ku, please, think of me like before!"

Nafas Nesya naik turun tak beraturan, gadis itu seperti baru saja meluapkan apa yang ditahannya selama ini.

"Udah?"

Detik itu juga tubuh Nesya jatuh ke lantai, entah mengapa rasanya begitu lemas, setelah ia meluapkan segala amarahnya namun hanya dibalas dengan sepatah kata yang terdengar sangat menyakitkan.

"Rel! Sebenci itu kah kamu sama aku, apa aku pernah melakukan kesalahan besar yang tak pantas untuk dimaafkan?"

Farel pergi begitu saja, bahkan jika ditanya ia sendiri juga bingung mengapa ia bisa setega ini pada Nesya.

°°°
Lamborghini Farel kembali membelah jalanan baru saja ia akan menuju rumahnya, namun panggilan dari Om Tyo, membuat lelaki itu mengurungkan niatnya lantas berbalik arah.

Jujur saja dia sangat lelah hari ini, bahkan ia lupa kapan terakhir dia makan, jalanan nampak sedikit ramai, remang-remang purnama tertutupi awan.

Sebuah cafe dengan nuansa putih ramai akan pengunjung, tempat dimana om Tyo mengajak dirinya bertemu.

Setelah memarkirkan mobilnya Farel melangkah masuk ke dalam, matanya mulai menelisik mencari orang yang ingin ditemuinya, nampak lelaki tengah mengenakan topi hitam duduk di sudut ruangan, Farel mulai mendekat ke arah lelaki yang di yakini adalah Om Tyo.

"Malam Om," Ucapnya seraya menyalami tangan Tyo.

"Malam Rel,"balas Tyo ramah.

"Ada bukti baru om?" Tanya Farel tanpa basa-basi dan sudah menjadi karakter nya.

Terdengar desahan berat dari Tyo, "ada dalang dibalik semuanya Rel, besok akan dilakukan penyelidikan lebih lanjut,"

"Om Tyo tau siapa dalangnya?"

Tyo hanya mengangguk-angguk pelan, "Larisa gimana keadaannya?"

Farel menghela nafasnya pelan,"mentalnya benar-benar tertekan Om, hingga saat ini dia takut bertemu dengan orang-orang di luar,"

Tyo menepuk bahu Farel pelan, "Kuatkan dia, Om punya teman psikiater mungkin bisa membantu meringankan beban Larisa, kapan-kapan Om akan suruh dia untuk datang ke rumah Larisa jika kamu mengijinkan."

Farel mengangguk sebagai balsan, Farel sudah tak ingin mengeruk informasi mengenai pelaku lebih dalam, ia menyerahkan semuanya kepada Om Tyo.

Percakapan singkat itu sudah sedikit menenangkan hatinya, semuanya akan segera terungkap.

°°°
Larisa tengah termangu menatap jejeran bintang, gadis itu sangat merindukan semuanya.

Bahkan hal langkah dirinya termenung menatap bintang seperti saat ini, biasanya ia dipadatkan dengan jadwal pemotretannya, tiap hari dirinya menerima bucket bunga, ucapan agar dirinya lekas sembuh.

Larisa semakin menengadahkan kepalanya, air matanya ingin menetes, gadis itu berucap lirih

"Tuhan, kuatkan aku dalam keadaan ini."

Dia benar-benar ingin agar roda kehidupannya segera berputar ke atas, jika saja ia bisa minta satu permintaan, ia sangat ingin bisa berjalan dengan normal, sungguh keadaan ini sangat berat untuk dirinya. Melakukan aktivitas di atas kursi roda bukanlah hal yang mudah, hatinya selalu berdenyut mengingat aktivitas yang biasanya dengan mudah ia lakukan sekarang semuanya terasa sulit, benar-benar sulit.

Bola mata yang kini berkaca-kaca itu melirik koleksi sepatunya yang berada di dalam lemari dekat dengan posisinya saat ini, air matanya turun begitu saja, Larisa semakin terisak.

Di tengah isakannya ponsel pemberian dari kekasihnya berdering, tangannya terulur pelan untuk mengangkat panggilan.

"Ris," sapa kekasihnya lantaran gadis itu tetap diam.

"Iy,,a Rel." Suaranya terbata menahan isakannya.

"Aku kesana sekarang."

Farel memutus sambungan begitu saja.

°°°

Thanks for Reading ❤️

Sebelumnya minal aidzin wal Faidzin yaa, author minta maaf sebesar-besarnya ke kalian karena udah gantungin lama banget 🙏🏻
Author benar-benar minta maaf 🙏🏻

Jangan lupa tinggalkan Komentar dan vote

Larisa and The Ice BoysWhere stories live. Discover now