•Ayah kenapa si?•

Start from the beginning
                                    

Seketika mulut nya ingin melontarkan semua yang terjadi untuk hari ini. Tapi, Sabna masih bisa menahan untuk diam dan berfikir untuk segera menulis diarynya saja.

Sering ketika ia mulai menulis cerita, Sabna hanya merangkai kata dari diarynya. jadi, sebagian besar isi cerita karangannya adalah real life, Sabna jelas ga bisa nulis dengan genre romance karena memang ga ada jalan hidupnya tentang percintaan, mungkin jika dia benar menerima Athaya akan terbesit untuk menceritakannya dalam karya tulis.

"Tadi itu tentangga kita lahiran Sabna, terus anaknya si intan itu, kesini minta tolong bunda buat nyupirin mobilnya. Kan, kamu belum bangun sayang ... Maafin Bunda ya." Bunda kemudian mengusap puncak kepala Sabna.

Sabna nyengir, "gapapa sih Bunda, kalau emang itu kebaikan. Sabna mikir Bunda di culik malahan."

"Gak lah, mana ada yang mau nyulik emak-emak. Oh iya  tadi Bunda ketemu kepala sekolah kamu loh, pa siapa itu ya namanya, tapi Bunda ko ga famous ya,"

"Hah? Ga famous gimana Bun?"

"Kepala sekolah kamu masa ga kenal Bunda sih, kan katanya kamu wakil ketua OSIS," jawab bunda.

"E-emang apa hubungannya?"

"Loh jelas dong, kalau kamu famous bunda mesti keikut. kayak bang shafwan kan, udah hafidh, nanti Bunda diajak ke syurga, Sabna mau ajak Bunda kemana? mau buat bunda bangga apa? Hmmmm?"

Kok ga nyambung sih Bunda jawabannya, batin Sabna.

Sabna memanyunkan bibirnya tipis, lagi-lagi hal seperti itu yang Bunda lontarkan, tapi bukan seorang pemimpi jika mudah tersinggung, justru hal tersebut menggairahkan Sabna untuk membuktikan kalau dirinya juga mampu membuat Bunda bangga.

Bunda liat aja, Sabna bakal buat bunda bangga! Sabna promise Bunda! gumam Sabna.

"Sabna mau Bunda masakin yang special ga? Maakannya di rapel ya, mau di masakin apa?" Bunda kini telah bersiap di dapur seraya mengenakan celemek.

"Bunda capek, kan habis dari rumah sakit. Udahlah nanti biar Sabna beli sayur mateng aja," saran Sabna.

"Tapi Bunda paling ga suka beli masakan di luar," ucap bunda sembari mencari bahan makanan di kulkas.

"Sabna. Tadi Bunda jadi lupa cerita, tadi kepala sekolah kamu itu bawa siapa? Perempuan blasteran gitu majahnya, apa temen sekolah kamu, ah... tapi ga pake baju seragam," tukas bunda yang kini tengah memotong sayuran.

Memang benar tadi Sabna bertemu dengan orang yang Bunda maksud, dan kepala sekolahlah yang membawa Tante Linda Kerumah sakit.

"Bukan itu korban tabrak lari, Sabna ketemu tadi sebelum ke sekolah."

"Ohh." Bunda hanya ber oh ria, Sabna pun langsung bergegas ke kamarnya.

"Sabna, ayah nanti pulang loh!" seru Bunda.

"Yess, Sabna mau jalan-jalan sama ayah ahh nanti." Lalu melanjutkan langkahnya menaiki tangga.

"Kita jenguk anak nya Bunda intan ya nanti, sekalian mau jenguk korban tabrak lari yang ketemu sama kamu itu loh."

Sabna berdiri tepat di tangga paling atas, "yah, Sabna ga suka aroma rumah sakit," jujurnya.

"Assalamualaikum." Suara nada yang samar-samar terdengar dari depan gerbang.

Sabna bergegas menuju gerbang, suara itu sangat ia rindukan, dan paling ia tunggu-tunggu. Baju seragam dan bahkan tas sekolahnya masih melekat di tubuhnya.

"Ayah!" girang Sabna saat menemukan sosok pria paruh baya dengan tubuh kekar berdasi dan mobil yang berada di luar gerbang.

Sabna membuka gerbang, "Sabna akan selalu kangen sama ayah, jadi ga perlu nanya lagi ya, Sabna rindu sama ayah apa engga," tutur Sabna.

Namun, pria tersebut menatap Sabna datar, bahkan puncak kepalanya tak diacak-acak seperti biasa, Sabna memberanikan diri mendekat, "yah, A-ayah kenapa?"

"Sabna ayah lelah, jangan banyak tanya tentang apapun itu," ucap Gibran ayah Sabna, dari dalam mobil.

Sabna membuka gerbang lebih lebar, mobil terparkir cepat di garasi. Gibran langsung masuk ke dalam rumah, sementara Sabna kembali menutup gerbang dengan rapat.

Sabna melangkahkan kakinya ke dalam rumah, ia menghirup nafas panjang, berharap semoga tidak terjadi apapun pada ayahnya, mungkin ada, tapi harapan akan baik-baik saja.

"Ghania," panggil Gibran.

Sedari tadi Bunda Sabna sibuk menyiapkan makanan untuk Gibran, dengan senyum merekah Ghania ibunda Sabna menghampiri Gibran.

"Loh mas, kok pulangnya di luar dugaan? Aku baru selesai masak," Bunda membantu melepaskan dasi yang melekat di baju kemeja Gibran.

"Gapapa, aku langsung istirahat aja ya," jawab Gibran dengan nada berat.

Senyuman Ghania masih sama, "Kamu capek ya mas, yasudah. Nanti aja ya makannya," tawar Ghania dengan nada sangat lembut lalu membantu melepaskan kemejanya dan membawa tas koper kecil yang sedari tadi di genggam Gibran.

Sabna memperhatikan gerak-gerik sang Ayah dari ambang pintu, ayah ga kayak biasanya, ayah selalu ramah sama Bunda, walaupun capek, gumam Sabna.

Gibran langsung masuk ke kamar, "Bunda ...." panggil Sabna.

Sabna juga langsung menghampiri Bunda, "Ayah kenapa Bun? Lagi ada masalah ya?"

"Sabna sayang, kalau capek kan emang gitu."

"Engga begitu kalau ayah Sabna, apalagi ke Bunda. Itu bukan Ayah!" bantah Sabna lalu meninggalkan Bunda dan kembali menaiki tangga.

Bisa di bilang Sabna sensitif jika ada yang kasar dengan sang Bunda, padahal Ghania Bunda Sabna sendiri memaklumi keadaan Gibran yang mungkin sedang lelah.

_____________

FYI, aku pengen tanya nih, kalau ayah kita lagi capek suka begitu ga?

Hmmm, sebenarnya ada apa sih dengan Ayah Sabna?

Jangan lupa buat votmen!

Thanks you all


















Take to the SKY [ON GOING]Where stories live. Discover now