Yang Tak Terkatakan

Start from the beginning
                                    

Namun, kebanyakan dari apa yang terjadi, selebihnya aku hanya mampu menangis. Setidaknya mungkin itu cara anak kecil mengungkapkan isi hatinya. Aku hanya bisa merengek dan menjauh dari mereka. Sekadar mencari ruang bagi diriku sendiri untuk menangis--sendirian.

Yang sering aku dengar ketika mereka bertengkar adalah Mama yang menyalahkan Ayah, dan Ayah yang menyalahkan Mama. Kata Mama, Ayah bukan suami yang baik. Ia terlalu cuek dan banyak diam. Ayah tidak mau bekerja dan cuma diam di rumah. Kerjaannya hanya mancing ikan dan ngabisin duit keluarga. Meski ada usaha pun tidak pernah konsisten, hanya sementara dan sudah. Mama capek kalau harus kerja sendirian, kalau harus menafkahi keluarga ini terus.

Sedangkan di mata Ayah, Mama bukanlah istri yang baik. Ia terlalu egois di banyak hal, cerewet, dan gampang emosi. Dan Ayah capek kalau harus selalu dengar ocehan Mama setiap hari. Apa saja menjadi masalah, hal sekecil apa pun menjadi masalah. Itulah yang setidaknya aku ingat sampai sekarang. Aku tidak sedang menjelekkan orangtuaku sendiri, tentu saja aku menyayangi mereka. Ini hanya bagaimana aku menggambarkan cerita yang terjadi.

Singkat cerita, mungkin waktu aku kelas 2 SD. Mereka berpisah. Dan sejak hari itu aku mengenal kata perceraian. Mama ketahuan berselingkuh dengan seorang teman kerjanya, dan Ayah sama sekali tidak ada perubahan. Ia masih senang santai dengan dirinya sendiri, dan tidak pernah mau ambil bagian dengan urusan keluarga. Sedangkan aku hanya bisa diam. Aku masih belum punya kemampuan untuk mencerna semuanya dengan semestinya. Kenyataan yang terjadi, bagiku, terlalu pelik. Karena pada dasarnya yang aku mau hanyalah mereka tetap baik-baik saja, keluargaku baik-baik saja. Akan tetapi, orang dulu selalu mengatakan bahwa mereka lebih paham daripada anak kecil. Mereka lebih tahu urusan dunia ini, mereka tahu apa yang baik, mereka paham bagaimana harus bersikap. Padahal sejatinya, di mataku waktu itu, sebagai anak kecil, semuanya menyedihkan!

Mereka akhirnya resmi bercerai. Hari-hari kembali aku jalani tanpa ada kehadiran Ayah di rumah. Hari-hari aku jalani dengan menyaksikan Mama menangis, hampir setiap hari. Lalu aku masih sama, mengambil tempat untuk diriku sendiri, dan ikut menangis, sendirian.

Kemudian tidak lama dari itu, Mama menikah lagi dengan orang yang tadi. Aku bahkan tidak pernah memanggilnya Ayah. Pernikahan Mama bertahan sampai aku kelas 3 SMP. Dan tentu saja di antara waktu yang mereka lalui, yang terpaksa harus menyeret aku di dalamnya, mereka rajin bertengkar. Ayah baruku ini malah suka memukul Mama. Tidak seperti Ayah lamaku yang memilih menghancurkan perabotan rumah. Aku sering menemukan pipi Mama lebam. Dia menangis dan mengatakan banyak sekali penyesalan. Sedangkan aku telanjur tumbuh menjadi seorang anak yang tidak suka bicara.

Tiga kali mereka bercerai, yang mirisnya aku sudah tidak asing lagi mendengar kata-kata itu. Setelah berkali-kali rujuk, di perceraian ketiga akhirnya mereka benar-benar berpisah. Karena kalau di dalam islam, setelah perceraian ketiga atau sang suami menjatuhkan talak yang ketiga, jika ingin rujuk kembali, mereka harus menikah kembali. Setelah aku mengancam akan membunuhnya kalau sampai menikah lagi, mereka akhirnya menyerah untuk bersama. Tentu saja aku bercanda. Membunuh semut saja aku tidak berani, apalagi manusia. Singkat cerita, luka terpahat, waktu tidak bisa diputar, aku telah tumbuh, dan semuanya kacau. Kini Mama sendirian. Ia tidak bekerja, karena dia pikir suami barunya adalah sosok hebat yang akan menafkahi keluarga sebagaimana mestinya. Karena itulah Mama berhenti dari pekerjaannya.

Sedangkan Ayah, maksudku Ayah kandungku. Dia sampai hari ini tidak menikah lagi. Ia ada di kampung tempat ia dilahirkan. Menjalani hari-hari dengan dirinya sendiri, mencari uang untuk dirinya sendiri, atau kerjanya cuma minta uang kepada keluarga, kepadaku juga tidak boleh lewat. Setiap bulan dia tidak pernah ingin tahu apa-apa tentangku, kecuali dua hal; di atas tanggal 20, dia akan bertanya, "Jang, sehat? Ayah minta uang, boleh?" (Jang/Ujang adalah panggilan untuk anak laki-laki). Dan ia tentu saja masih rajin mancing ikan. Bahkan ia sering jadi juara di pemancingan ikan, kalau ada lomba. Dulu dia juga pernah dapat hadiah domba. Dia menang karena banyak menangkap ikan mas merah. Kebetulan waktu itu aku ikut, dan senang saja. Begitulah, Ayah.

Aku tidak mengerti bagaimana rasanya memiliki keluarga yang utuh. Aku tidak tahu bagaimana rasanya punya sosok Ibu dan Ayah yang harmonis di rumah. Aku tidak dibesarkan oleh dua pelukan orangtua sebagaimana mestinya. Mungkin karena itulah aku tumbuh sebagai seseorang yang tidak banyak bicara. Aku tidak pernah berani membentak. Aku tidak pernah berani membuat orang lain menangis. Aku tidak pernah suka jika berdebat dengan orang lain. Aku membenci perkelahian. Dan aku tidak pernah tahu harus bersikap apa di hadapan orang-orang pada umumnya. Aku lebih suka menulis. Aku lebih suka bicara dengan hewan-hewan, kupikir mereka tidak banyak tingkah dan apa adanya.

Sehingga begitulah aku di hadapan keluarga Sera. Mungkin aku terkesan tidak mau bicara, aku terkesan tidak mau berbaur, dan entahlah. Sementara Bara, pacarnya Sera. Dia terlihat seperti orang yang tidak malu-malu untuk berbaur. Sering aku melihat postingan Sera di Instagram, kulihat bagaimana Bara bisa begitu leluasa bermain dengan keponakan-keponakan Sera. Dari jauh aku hanya bisa tersenyum dan mengatakan bahwa sebenarnya, seandainya mereka mengerti, aku pun ingin melakukannya.

Tetapi aku sadari bahwa memang bukan tugas mereka untuk mengerti keadaanku. Mereka tentu saja tidak harus tahu apa yang sebenarnya aku inginkan. Yang selama ini sangat ingin aku lakukan untuk Sera adalah pembuktian. Aku ingin tidak hanya bicara, tetapi ada untuk benar-benar membahagiakan. Sebagaimana aku tidak ingin apa yang terjadi terhadap keluargaku, terjadi juga di hidup Sera. Aku ingin dia baik-baik saja. Tidak harus ikut masuk ke dalam apa yang bukan urusannya. Aku ingin Sera bahagia saja.

Oleh karenanya aku tidak ingin menjadi orang biasa-biasa saja. Aku ingin membuktikan banyak hal. Aku ingin setidaknya ada keluarga yang mau menerimaku dengan segenap hati. Meski untuk merasakan keluarga yang benar-benar utuh, aku sudah terlambat. Setidaknya aku ingin menghadiahi banyak hal untuk orang yang aku sayang. Aku ingin berhasil agar tidak hanya membahagiakan Sera, tetapi juga seluruh keluarganya.

Di antara sekian banyak rindu akan masa kecil yang indah. Dan di balik setiap sakit yang aku derita, tentang bagaimana hancurnya sebuah keluarga, tentang bagaimana kini setiap harinya aku harus menerima kenyataan bahwa Sera sudah dengan yang lain, aku berjalan demi menggapai mimpi-mimpiku perlahan. Aku menyadari bahwa ada yang harus kuprioritaskan saat ini. Aku harus bisa membuktikan bahwa aku bersungguh-sungguh.

Karena baik saja, tidak pernah cukup.

_________

Alhamdulillah

Bacalah, berkenanlah
_________

Terkhusus untuk Mas Agung, terima kasih atas ilustrasinya.

Langit Yang Jauh Untuk Kecoa Yang TerbalikWhere stories live. Discover now