Tetapi lain hal dengan Sera, dia suka minta diantar ke Selabintana untuk mengunjungi keluarganya di sana, bukan mau piknik berdua, hahaha. Begitulah, hampir ke mana saja dia selalu minta aku yang antar. Aku tentu mau-mau saja. Apalagi tadi pas tidur aku mimpi Sera. Rasanya kebetulan sekali. Karena begini memang kalau habis memimpikannya, aku jadi rindu. Dan sekarang aku bisa melepas rindu dengan bertemu langsung, dengan hanya melihat wajahnya pun sudah cukup.

"Ah, tanggung bouusshh!" Aku membalas dengan bercanda. Dia mengerti kalau aku begitu, berarti aku sedang bercanda.

"Iya, nanti kan, habis dhuzur?" Tanya Sera seperti sudah bisa menebak jawabannya.

"Habis maghrib, Neng." (Neng adalah nama panggilan untuk gadis Sunda, sama seperti Nona)

"Beku dong kalau jam segitu, hahaha. Aku cuk angin nanti," Sera mengeluh, "cuk angin" artinya masuk angin. Dia anak yang manja, suka mengganti-ganti kata sekehendaknya sendiri. Dan kalau mau tahu, suaranya dia cempreng. Kalau kata guru Bahasa Indonesiaku dulu, Bu Devi, Sera itu suaranya terdengar seperti cemen suing, wkwkwk (Cemen = kartun, dan suing = sumbing) jadi, cemen suing adalah kartun yang suaranya sumbing, hahaha. Tentu saja beliau bercanda. Suaranya Sera itu lucu, ya begitulah, suara-suaranya cewek manja. Kalau dia bicara, kita tidak bisa mengatakan tidak.

"Ah, iya, kamu payah. Baiklah, habis dzuhur aku jemput."

"Jangan lama, kalau lama nanti kamu aku pendekin!" Dia terdengar mengancam.

"Ampun bouushhh :( "

***

Selesai mandi dan dzuhur, sekitar pukul 12.40 aku berangkat. Menaiki motor kecilku, honda beat kalau mau tahu-tahu banget. Motor sejuta umat, katanya wkwkwk.

Langit hari ini sedang agak mendung. Aku suka langit mendung Sukabumi. Dan cuaca di kota ini selalu bisa dinikmati. Kadang dingin, kadang hangat. Tetapi barangkali cuaca selebihnya tergantung apa yang sedang dirasakan hati, atau tergantung dengan siapa hari-hari dijalani.

Jalanan di kota ini jarang macet. Kecuali kalau ada momen tertentu, seperti lebaran, hari kemerdekaan, atau rombongan bucin malam mingguan. Ya, suatu hari akan tahulah kalau main ke Sukabumi. Bagaimana anak-anak muda di sini selalu menghalalkan berbagai cara hanya untuk nongkrong-nongkrong. Apalagi malam minggu. Mereka memenuhi cafe-cafe, jalan-jalan, sampai tengah malam dan entahlah. Dan tentu saja di antaranya akan selalu ada Renold, Hanand, Ariel dan kawan-kawan bajinganku yang lainnya. Sementara aku jarang sekali, paling sesekali kalau mereka memaksa untuk ikut. Katanya banyak cem-ceman (gebetan). Itung-itung cuci mata. Aku sih, sampai hari ini masih suka bingung kalau ketemu cewek-cewek di cafe gitu. Aku tidak tahu harus bersikap apa. Kadang katanya aku sombong, meskipun mereka tidak selalu mengatakannya langsung.

Kalau siang dan sedang mendung begini, jalanan menuju rumah Sera enak untuk dilalui. Pohon-pohon masih banyak berjejer, menyadarkan betapa asrinya kota ini. Kota yang kalau orang-orang di sini menyebutnya "Kota kecil sejuta piomongeun" artinya, kota kecil sejuta pertengkaran, hahaha. Disebut begitu karena mungkin banyak masalah asmara yang terjadi, penyebannya, ya, perselingkuhan, saling tikung teman satu sama lain, dan ada-ada saja deh pokoknya masalah anak muda di sini. Hanand dan Ariel buktinya. Dulu waktu kelas 10 SMA, sebelum akhirnya berdamai dan akrab begini, mereka pernah memperebutkan satu cewek. Namanya Carla, orangnya cantik, lebih putih dari sera. Tetapi tentu saja, menurutku lebih cantik Sera. Singkat cerita Hanand menyukai Carla, Ariel juga. Kepada Ariel, Carla bilang sayang. Kepada Hanand, Carla merespons. Gimana coba? Mereka pernah hampir berantem sebelum akhirnya sama-sama sadar dan saling memaafkan entah karena apa.

Ke rumah Sera tidak pernah membutuhkan waktu lama, dari kosan, kalau pakai kendaraan paling cuma 7 menit. Sesampainya aku di depan rumah Sera, seperti biasa aku parkir di depan gerbang, lalu aku parkirkan motor di pinggir jalan, dan aku duduk di atas motor dengan mengangkat satu kaki ke jok motor, sementara satu kaki lainnya bertumpu.

Belum sempat aku mengabari Sera bahwa aku sudah sampai di depan rumahnya, dari dalam rumah terdengar dua orang sedang bertengkar. Bukan bertengkar hebat, lebih seperti beradu pendapat tapi dengan tensi yang agak tinggi. Yang pertama kali kudengar setelah sebelumnya aku melepas helm dan menaruhnya di atas spion motor sebelah kanan, "Mau ke mana? Pergi sama siapa? Si Key lagi? Buat apa sih?" Itu suara kakak perempuannya Sera.

Kemudian dari sisi yang lain terdengar suara Sera, "Iya, Teh. Emangnya kenapa? Dulu juga pas Teteh pacaran Sera gak ada ikut campur." (Teteh adalah panggilan adik kepada kakak perempuannya.)

"Ya, tapi gak bisa kalau terus gini. Maksud Teteh udah aja sama Bara. Toh si Key belum jelas juga dia kerjanya apa. Bara kurang baik apa? Kalau dia tahu kamu masih pergi sama Key nanti repot loh," kakaknya Sera terdengar seperti menasihati. Bara adalah nama kekasihnya Sera.

"Iya, Teh. Gimana nanti aja." Sera menjawab pelan.

Aku yang sedari tadi berada di depan gerbang hanya bisa mendengar percakapan mereka, meski sebenarnya aku tidak pernah berharap akan mendengarnya sama sekali. Tiba-tiba jantungku bergetar, dan tubuhku melemas. Aku tersenyum dan melihat diriku sendiri. Kusadari bahwa memang tidak semestinya aku ada di sini. Tidak akan sebanding aku dengan kekasihnya Sera. Dia baik, berpendidikan, dan katakanlah mapan, sialnya, tampan pula. Dia punya pekerjaan yang baik di Kalimantan sana. Sementara aku di sini masih dengan menulis hal-hal yang tidak jelas. Penghasilanku hanya dari jasa merangkai kata. Aku menulis puisi-puisi untuk orang lain, menulis surat, ucapan ulang tahun dan hal-hal sederhana lainnya. Bahkan untuk disebut sebagai seorang penulis pun aku masih lebih mirip seorang pecundang. Sampai hari ini aku masih belum punya satu buku pun yang diterbitkan. Pernah beberapa kali mengirim naskah ke penerbit, namun, tak ada satu pun diterima. Kemudian untuk menambah-nambah penghasilan, tahun 2017 lalu aku mendaftar diri sebagai driver ojek online. Aku narik kalau sedang mau, karena pada dasarnya aku juga perlu usaha lain untuk menafkahi Mama di rumah. Beliau sudah tidak bekerja dan selebihnya kalau ingat akan aku ceritakan nanti.

Sampai hari ini aku masih belum bisa membuktikan apa-apa kepada Sera, terlebih kepada keluarganya. Dan aku benci menjadi seseorang yang cuma bicara, oleh karena itu selama ini aku hanya memilih diam. Barangkali aku yang sekarang tidak lebih dari pemuda yang tidak punya masa depan. Sementara hidup di zaman ini, siapa saja hampir membutuhkan yang pasti. Pekerjaan yang pasti, penghasilan yang pasti, dan sebagainya.

Di kesadaran yang lain aku pun mengerti bahwa memang sejatinya keluarga hanya menginginkan yang terbaik untuk keluarganya sendiri. Dan lagi selama ini keluarga Sera memperlakukanku dengan baik, bukan berarti mereka tidak menyukai. Melainkan mereka lebih menyukai Sera dengan Bara.

Menyadari itu semua membuatku tidak bisa berkata apa-apa. Dengan isi dada yang kacau, aku menerima perkataan kakak Sera sebagai sebuah kebenaran. Aku mengakuinya, dan aku hanya bisa tersenyum sambil melihat diriku sendiri di balik kaca spion motor butut ini. Yang aku lihat, betapa menyedihkan diriku saat ini.

Tidak lama dari itu, di tengah aku yang sedang termenung sendiri di depan gerbang, terdengar suara pintu terbuka. Itu Sera. Dia keluar dan turun dari tangga menuju halaman rumah, dia membuka pagar, lalu menyapaku dengan lembut, "Mang Key, ya?" (Mang/Mamang adalah nama panggilan untuk lelaki seperti Mas/Bang.)

Seketika aku menjawab Sera dan berpura-pura tidak mendengar apa-apa, "Monkey kali hahaha... Neng Sera, ya?"

"Benul, Mang hehe," Sera langsung menghampiri. Dia memakai baju berwarna peach, kerudung abu-abu, kebawahan warna abu-abu yang menurutku hampir mirip cream, dan sepatu yang satu tahun lalu kubelikan saat dia berulang tahun. Katanya itu sepatu kesukaannya. Tetapi entah kalau dia cuma mau bikin aku senang.

Aku menyalakan motor. Memakai helm. Sedangkan Sera, dia menyodorkan kepala, dan aku otomatis memakaikan helmnya.

"Sesuai aplikasi, Neng?" Aku berpura-pura sebagai driver ojek online.

"Muhun, Mang," Dia menjawab sambil memiringkan kepalanya ke kiri sedikit dan tersenyum. Manis sekali.

Kemudian kita berangkat ke Selabintana dengan keadaan hati aku yang campur aduk. Entah apa yang sebenarnya hari ini aku rasakan. Aku sedih, aku merasa kecil sekali. Tetapi di sisi lain aku senang melihat Sera. Masih sama seperti hari-hari lainnya, dia cantik, aku kenal wanginya, dan aku suka.

_____________

Alhamdulillah

Bacalah, berkenanlah

Langit Yang Jauh Untuk Kecoa Yang TerbalikWhere stories live. Discover now