bagian 20

118 16 2
                                    

Tanggal sepuluh Oktober, aku harus mengingat dengan betul tanggal tersebut. Tanggal dimana video tersebar, diperas informasi oleh bagian kedisiplinan, tragedi Kak Daniel yang semakin tak menentu, dan terakhir hancurnya gawai yang sudah menemaniku melewati masa-masa SMA dan awal-awal perkuliahan lalu... ini. Bahkan saat mencoba menyimpulkan atas apa yang terjadi padaku, aku masih harus mencerna apa benar segala sesuatu ini terjadi begitu beruntut dan terjadi dalam satu hari. Kenapa harus aku? Tidak bisakah aku menjalani hari-hari biasa tanpa penuh kejutan seperti ini?

Dan aku hampir pingsan dibuatnya.

Kak Gemilang masih memegang jari-jariku. Pegangan yang mantap, telapak tangannya yang halus tidak menyakitkan, justru memberi kehangatan lebih tepat di jari-jariku. Parfum berbau buah yang segar tapi tidak memualkan bisa aku rasakan, terlebih hembusan nafasnya yang hangat menerobos pori-pori kulit tubuh. Tatapannya bagai samudera yang tenang tanpa deru ombak namun dalam sehingga tak bisa aku terbebas dari keadaan tenggelam di dalam tatapannya.

"Jadilah pacarku," Nafas segar bisa aku hirup dengan betul, kalimat yang dilontarkannya bukan merupakan sebuah kalimat pertanyaan. Keadaan ini seolah bagian terbesar dari segala kejadian yang aku alami hari ini. Bagai kembang api yang akhirnya meledak di kelamnya angkasa malam, menakjubkan, penuh warna, tercerna dengan baik oleh mata. Debar di dalam dada bagai genderang hendak perang—kalau kata mereka, rasanya sesuatu hendak keluar, meloncat, meninggalkan bekas kesunyian. Tapi tubuhku masih kaku diam mematung. Mata masih membalas pandangannya yang dalam, mencerna satu per satu kata yang terlontar.

Aku tidak bisa merespon, masih terkesiap tak percaya.
Apa yang dia pikirkan? Kenapa harus aku? Kenapa harus hari ini? Kenapa dan terus kenapa yang berbentuk kalimat tanya menghantam benakku. Terlepas dari semua itu, aku tidak ada perasaan ingin menghajarnya atau cepat-cepat pergi dan mencampakkannya. Pikiranku didominasi oleh secercah cahaya yang akan menerangkan titik gelap tentang semuanya.. tentang dia di mata Kak Andre.

"Akra?" Suaranya dengan yang khas memanggil. Tapi seluruh jiwaku belum terkumpul sekarang. Aku masih mematung tak berdaya, mati oleh kata-kata dan pemikiran. Apa yang harus aku katakan berikutnya masih harus aku gali dengan cepat.

Aku menggeleng. "Maaf? Ga salah denger kan aku?" Setidaknya.. setidaknya pertanyaan ini akan membangunkanku.

Kak Gemilang merespon dengan tawaan kecil yang amat sangat renyah—bahkan aku yakin siapapun yang mendengarnya akan merasa segala penjuru dunia tertuju pada pendengarnya—kemudian dia mengangguk. "Ya." Jawabannya kelewat singkat. Dengan senyuman kembali mengembang di wajahnya yang simetris. 

Aku menarik nafas, memikirkan berbagai jawaban, dan yang teramat pasti adalah: aku tidak siap. Sama sekali tidak menyiapkan apa-apa untuk hal ini, tidak pernah terpikirkan sedetikpun olehku bahwasanya Kak Gemilang akan melontarkan hal ini—atau setidaknya tidak secepat ini. Tidak mungkin kan drama dadakan yang terbuat secara spontan yang semata-mata hanya untuk melindungiku ternyata menjadi suatu kenyataan. "Beri aku waktu, kak." Aku yakin sebenarnya Kak Gemilang tidak membutuhkan jawaban karena kalimatnya bukanlah sebuah pertanyaan tapi aku juga punya hak untuk menyuarakan apa yang aku rasa.

"Sejauh ini—"aku menimbang kata-kata yang lebih halus, tidak ingin menyinggungnya lagi—"aku belum merasakan hal yang sama, bahkan segalanya terkesan begitu cepat," pegangannya di jari-jariku tidak semantap sebelumnya, "beri aku waktu untuk—setidaknya bernafas, kak. Semua yang terjadi... begitu bertubi-tubi. Aku bahkan tidak yakin bahwasanya aku benar-benar bisa melewati hari-hari ini." Ada satu hal lagi yang harus aku katakan. Mungkin akan menyinggungnya tapi ini harus aku lontarkan.

"Beri aku waktu, kak. Kamu sadar kan selama ini aku selalu menaruh hal negatif tentangmu." Aku menghembus nafas cepat-cepat.

Keheningan menyelimuti kami selama beberapa saat. Dan saat itu pula dia melepaskan pegangannya. Aku menunduk, tidak ingin melihat kekecewaan yang pasti meremas perasaan Kak Gemilang. Ini bukan pertama kalinya seorang lelaki mengutarakan perasaannya padaku tapi entah mengapa aku tidak ingin melukai perasaan Kak Gemilang. Selain perlakuannya sejauh ini yang baik-baik saja, tadi dia menyelamatkanku—dan mungkin seterusnya aku akan terhindar dari Kak Daniel.

One Thing Before EverythingWhere stories live. Discover now