bagian 5

166 18 8
                                    

Pagi buta, pukul empat, aku berjalan perlahan. Tujuan utama menuju parkiran utama kampus, berbekal tas berisi perlengkapan untuk kegiatan di luar kampus, dengan sedikit menyungging senyum, aku siap menyapa shubuh.

Di parkiran utama kampus sudah ada mahasiswa-mahasiswi jurusan Agricultural Business, tiga bus terparkir rapi dengan keadaan mesin menyala. Di ujung parkiran utama, tepatnya dekat mesin ATM, Nagita melambaikan tangan padaku, tanda bahwa dirinya dan anak-anak kelas ada di sana. "Absen dulu tuh," ucap Nagita sesampainya aku di antara teman-teman kelas.

"Yang lainnya mana?" Tanyaku, yang lainnya di sini berarti TimCaw.

"Belum pada ke sini, padahal bentar lagi mau berangkat." Dina yang menjawab. Ia terlihat was-was.

"Kenapa Din?" Kalau dibilang khawatir, memang iya.

"Tau tuh, daritadi diem bae. Kenapa sih?" Nagita menguatkan pertanyaan ku.

"Si Azka, dia tiba-tiba ngechat pas gue lagi jalan, katanya dia ga enak badan." Aku mencoba untuk tidak kaget kali ini. Dia tidak mengabari ku kalau dia sedang sakit. Malah mengabari Dina.

"Cie... Akang Azka ngabarin Dina." Nagita malah mengolok. Dina terlihat memerah. Kesimpulan ku, Dina menyukai Azka.

"Kalau dia ga ikut tinggal bilang aja ke kating." Ucapku.

"Bukan gitu Kra, dia kan yang main gitar entar pas gue tampil." Benar juga, tidak terpikir sampai ke situ olehku.

"Eh, by the way, kelas kita satu lagi yang tampil siapa? Per kelas kan minimal dua penampilan."

"Ya ini bocah lah, Mak. Siapa lagi emang?" Kalimat Luffi mengagetkanku, dia tiba-tiba sampai di antara kami dan langsung berkata dengan lantang. Di belakangnya diikuti oleh Trio Mini (Risa, Nisa dan Tasya).

"Kalau ngomong tuh jangan kenceng-kenceng napa." Risa memberikan tamparan di pundak Luffi atas ulah Luffi sembari melontarkan kalimatnya.

"Deuh, protes mulu si lu!" Tidak mau kalah, Luffi balas mendorong pelan tubuh Risa. Aku hanya bisa tertawa, begitupun Nisa dan Tasya.

"Eh udah udah, tuh si Dina lagi bingung Azka nya ga bisa ikut sikrab." Nagita yang melerai pertengkaran dini antara Luffi dan Risa. Kami menyarankan Dina untuk mengganti gitarisnya, bisa ajak Agra atau Fazra, tapi Dina enggan mengganti pendamping bernyanyinya.

"Kek udah klop gituloh digitarin sama Azka tuh." Alasan singkat dari Dina. Memang benar adanya, seseorang akan lebih percaya diri saat bernyanyi ketika pendamping instrumennya sudah menyatu dengan dirinya.

"Semuanya masuk Bus ya! Kita mulai berangkat!" Suara kating memecah diskusi kami. Sesegera namun tidak rusuh, kami mulai masuk ke dalam bus. Kami memilih area kursi paling belakang, seat 2-2, Dina duduk dengan Nagita, di samping seat mereka ada Luffi dan Risa, di belakangnya ada Nisa dan Tasya. Aku, masih sendirian. Mahasiswa yang lain lebih memilih seat area depan. Memang kurang satu orang, tinggal Azka.

Sesaat bus akan melaju, Dina berteriak untuk menghentikan bus sejenak. Aku menoleh ke jendela bus, Azka tengah berlari sekuatnya menghampiri bus. Entah kenapa aku berasa lega ia bisa mengikuti sikrab ini. Sesampainya di dalam bus, ia langsung duduk di sampingku. Nafasnya tak menentu, ku keluarkan botol minuman ku. "Makasih." Ucapnya.

One Thing Before EverythingWhere stories live. Discover now