bagian 2

312 36 9
                                    

Ada kalanya kita berada di keadaan untuk menyerah di awal tanpa berpikir betapa sebenarnya kita mampu untuk melewatinya.
Beberapa orang akan memaklumi itu, termasuk Azka. Aku menceritakan segalanya. Dia tipe pendengar yang baik, juga memberikan solusi. Katanya, "masih awal buat menyerah, belum aja lu nemu titik terang."

Kalimatnya menamparku, menyadarkan ku dari keterpurukan. "Nih, semua orang gak langsung bisa paham sama keadaan. Pasti ada waktu buat penyesuaian." Jujur, aku terpukau saat dia mengatakan hal ini. Betapanya aku sangat berterima kasih pada takdir, saat keterpurukan dan rasa menyerah menjadi bayangan, datang pula bahan untukku membuat tameng perlindungan.

"Wajar kok lu gabisa matematika, engga semua orang pinter matematika, gue yakin engga cuman lu yang bego matematika di kelas." Lanjutnya, sempat membuatku berpikir kenapa aku tidak sama sepertinya, mencoba melihat arah lain ketika kau tidak mampu, apa orang lain juga mampu? Belum tentu.

"Gue ada quotes nih, the moon shine when it's time. Paham kan lu?" Aku sempat tertawa, aksen dia tidak hilang saat melontarkan kalimat Inggris ini. "Lah, malah ketawa lu teh."

"Lagian, ini *busun dari mana dah," jawabku sambil tertawa-tawa. Azka tersenyum.

"Gapapa deh, bagus lu bisa ketawa. Beban lu ilang kan?" Aku menjawab dengan anggukan.

"Makasi, ya. Lu bener-bener kayak malaikat yang turun buat ngebantu hamba Tuhan." Jawabku sambil sedikit tertawa.

"Elah, hiperbola banget kau."

Kami tidak mengunjungi tempat yang fancy untuk saling mendekatkan diri. Cukup di angkringan pinggir jalan, aku bisa mengenal Azka lebih, dan Azka bisa mengenalku. Kami bertukar cerita dan pengalaman. Azka sebenarnya sudah memulai bisnis distro di kota tempat tinggalnya, karena dia harus kuliah, dia menyerahkan pada Ibu nya, tapi Azka juga tetap melakukan pemantauan, Ibu nya selalu melapor jika ada sesuatu perihal distro miliknya.

Aku senang bisa mengenalnya. Sosok baik, menarik, dan tampan. Memang benar kok dia tampan. Tinggi dengan proporsi badan ideal untuk lelaki seumuran dia, kulit putih, meski wajahnya tidak terlalu terawat ada karisma tersendiri di dirinya, juga bagian mata yang sempurna. Aku yakin, dia bakal digila-gilai oleh mahasiswi di kampus. Terlebih, dia bilang dia akan mengikut Ormawa BEM, dia juga punya keinginan menjadi ketua BEM nantinya. Saat kami berdiskusi perihal sesuatu yang lebih berbobot, dia paham betul bagaimana dan harus apa.

"Kalau ada apa-apa, bilang. Juga kalau lu mau belajar matkul itu dari gue, dengan senang hati gue bantu." Tutur Azka.

Aku mengangguk.
Kegelisahan mulai surut.
Penekanan ada pada diriku, aku pasti bisa.

*

Dua minggu berlalu, aku sudah menemukan kebiasaan yang nyaman di keadaan dan lingkunganku yang sekarang. Juga sudah mendapatkan lingkungan pertemanan yang menurutku baik-baik saja. Kami menyebut diri kami sebagai Team Caw. Bermula dari ajakan Dina di grup kelas untuk malam mingguan ke lapangan lari, soalnya di sana setiap malam minggu berganti menjadi festival jajanan pinggiran. Yang merespon dan yang mengiyakan hanya Aku, Luffi, Risa, Nagita, Nisa, Tasya, Rizka, Yuli, Friska, dan Husna. Sisanya tidak membalas, ada juga menjawab tapi tidak bisa ikut. Kalau Azka, dia bilang: Mager, kalau banyakan banget entar paling berkubu-kubu.

Dan, karena setiap Dina mengajak hang out di grup kelas selalu itu-itu saja yang *caw, dia pun membuat group chat di Line dengan nama #TeamCaw.

One Thing Before EverythingWhere stories live. Discover now