bagian 1

679 41 11
                                    

Kalau dibilang gugup, deg-degan, tidak terbayang ke depannya bagaimana, itulah Aku. Meskipun begitu, hari ini sangat cerah dengan hembusan angin perkotaan yang jika disebut sejuk merupakan suatu kebohongan. Tapi percayalah, ini benar-benar sejuk. Pundak ku mulai terasa nyeri karena menggendong tas yang isinya penuh dengan baju-bajuku. Kakiku kaku menahan diri di step motor. Kepalaku berat sudah 8 jam lebih memakai helm. Ya, perjalananku menggunakan motor.

Pindahan? Bisa dibilang begitu.
Tahun ini adalah tahun pertamaku menjadi mahasiswa baru di salah satu Institut ternama di kota besar. Besok hari pertama kuliah, dan hari ini adalah hari pindahan ku.

Jangan berekspetasi lebih dengan kosan yang Aku sewa. Tidak se-modern di drama-drama, hanya satu rumah disekat-sekat menjadi tiga kamar kos. Tempatnya pun di area pemukiman warga sekitar kampus. Masuk gang yang cukup untuk dua motor melintas dengan bau aneh saat Kau masuk ke areanya.

Aku turun dari motor, Papaku menyuruh untuk segera ke kosan sedangkan dia akan berkabar ke pemilik kos.

Dengan perlahan ku buka pintu utama dengan aksen sederhana dan gagang pintu yang agak sulit digerakkan. Masih bersih, belum terjamah. Sembari berjalan masuk Aku memikirkan nasibku di sini. Kalau dibilang belum siap menghadapi hari esok, sangat amat betul. Hanya membutuhkan beberapa langkah untuk aku sampai di depan pintu kamar kos ku. Pintu yang hanya terbuat dari triplek tipis, tanpa gagang, hanya menggunakan slot gembok agar terjaga bagian dalam ruangan sempat membuatku was-was. Slot tipis dan satu gembok, perampok bisa dengan mudahnya menghancurkan pelindung ini, masuk ke dalam, mengacak kamar, membawa semua barang berharga, dan berpesta.

Aku bergidik ngeri hanya dengan membayangkan.
Ku buka gembok pun pintu kini terbuka seadanya. Kasur yang masih dilapisi plastik -menandakan kebaruannya, menyambutku membuatku mengawang ke suasana beberapa jam berikutnya: malam ini aku akan terbaring di kasur itu. Lemari plastik yang dapat ditemui di pasar-pasar seolah berkata: mari, simpan barang-barangmu.

Langsung kulepas tas yang sedari tadi hinggap di pundakku. Aku mengeliat. Delapan jam perjalanan terlewati sudah. Melihat keadaan sekitar. Langit-langit ruangan yang jika aku luruskan tangan ke atas pun sudah bisa teraih. Tepat disebrang pintu masuk ruangan ada ventilasi untuk udara masuk. Lumayan, tidak akan terasa terlalu panas. Dan di dinding samping lemari terdapat rak dingding yang dibuat dari triplek tipis, pikirku penyewa sebelumnyalah yang membuat itu. Begitu pula cet dinding yang dihias seperti papan catur.

Aku menghembuskan nafas, sesegera membuka tas dan mengeluarkan semua isinya. Semua barang yang ku bawa sudah bisa terbayang untuk aku tata. Kekosongan yang terbuat akan segera menghilang dengan diisi oleh barang-barangku. Lemari plastik itu sudah terisi penuh oleh baju-baju. Rak dinding kini terhiasi oleh buku-buku dan beberapa action figure yang ku bawa. Kasur itu kini telanjangan tanpa ada lagi plastik yang membungkusnya. Kapakaikan sprei dan ku tata dengan bantal yang sebelumnya sudah tersedia di sana dengan bantal yang kubawa dari rumah. Sedikit informasi, kasur itu kasur busa yang mudah untuk ku angkat. Tidak memakai lagi ranjang, hanya ditunjang oleh karpet dengan gambar Pororo yang sudah lepek.

"Mantep, udah beres lagi aja," Suara Papa mengagetkanku, "tadi sekalian beli makan." Lanjutnya setelah aku berbalik dan tersenyum. Tinggi ruangan ini hampir setinggi Papa. Bahkan saat dia masuk ke ruangan, dia akan sedikit menunduk. Ku raih bungkus yang dia beri.

"Kalau dirasa emang sempit ya." Entah untuk memecah sunyi atau apa, Papa kembali memulai percakapan saat kami mulai makan. Memang, kosanku sangat amat sempit. 2x2 mungkin. Saat masuk langsung terlihat kasur dan hanya ada sedikit ruang untuk duduk, hanya dua petak keramik standar.

One Thing Before EverythingWhere stories live. Discover now