17. Finger Hearth

80 10 1
                                    

Suasana hening. Dikeheningan tersebut Yunji dan Ega datang dengan wajah yang super mengejutkan. Gelagat mereka bak sedang mengejar seorang pencuri sepeda motor.

"Kirea ...! Lo kebiasaan banget sih pergi-pergi gitu aja! Orang panik tau gak," pekik Ega, dia mengatur napasnya yang tak beraturan sehabis lari-larian.

Yunji menopang lututnya. Sama dengan Ega, dia jauh lebih terlihat kelelahan. "Kirea, lo dicariin malah pacaran di sini."

Kirea menutup bukunya cepat. "Siapa yang pacarang?!" sanggahnya cepaat. "Eh, maaf. Gue juga gak tau kenapa harus sesentimental ini," ucap Kirea sembari menunduk.

Karsa mengerutkan keningnya. "Kenapa?"

Mereka mengabaikan Karsa karena masih sibuk dengan urusan Nirmala.

"Huh, gue kira lo lagi nangis tersedu-sedu kayak tadi malam." Ega duduk di samping Kirea pula.

Mereka berusaha untuk mengerti perasaan Kirea.

"Kirea ... lo gak bisa lari kayak gini. Lo harus belajar ngadepin permasalahan, mau sebesar atau sekecil apa pun." Yunji juga ikut duduk di depan Kirea, menggenggam kedua tangan Kirea, menatapnya lamat-lamat.

"Gue gak tau, Yun, harus gimana. Gue ngerasa bingung banget dan capek. Gue gak tau kalo Nirmala ternyata gak nyata. Di satu sisi gue sayang banget sama dia, gue juga gak mau kehilangan dia."

"Kirea, tubuh lo ya tubuh lo, lo gak boleh biarin ada hal yang mengganggu dan ngebuat lo sendiri pusing," ucap Ega, membuat Kirea semakin lesu.

Pemilik dirimu seharusnya adalah kamu sendiri.

Ega menyeka tangis Kirea. "Kir, lo harus usir Nirmala secara baik-baik sedari sekarang, sebelum lo nyesel kedepannya."

"Dengan cara apa, Gaaa."

Karsa menggaruk rambutnya. "Ini ada apa sih, guys?" Dia masih tak diperdulikan.

"Gue tau lo bisa, Kir." Tatapan Ega pada Kirea penuh arti, Ega tau bahwa hanya Kirea lah yang bisa mengusir Nirmala dari kehidupannya sendiri dan bukan orang lain.

***

"Ga, tolong kumpulin tugas gue sekalian dong, gue mager banget."

"Heh, telor dadar! Lo itu udah dikasih kaki yang mungkin bisa jalan sampe ke Kutub Utara sama tangan yang mungkin bisa ngangkat berton-ton kayak Hercules. Tapi masih aja mageran," komentar Ega yang hendak mengumpulkan tugasnya ke guru. "Gerak lah, cuy, lo bukan tiang bendera yang walau diam aja tapi bisa berdiri tegak," sambungnya lalu mengabaikan suruhan Ian begitu saja.

Kirea yang juga ikut berjalan di belakang Ega langsung menyambar buku Ian. Tak ada salahnya membantu hal sekecil itu.

Ian menganga. "Baik banget si Jepang. Gak kaya Ega yang kebanyakan ngomong doang. Lo sekarang jadi waifu gue yak Jepang!" Ian membuat tanda finger-hearth pada tangan kanannya ke Kirea.

Mendengar hal itu, Ega kembali mendekat ke Ian dan menyerampang kepalanya. "Berisik nih si Suprian, dasar Supri," ejek Ega dan langsung duduk di kursinya.

Ian jadi emosi, berani-beraninya Ega menyerampang kepalanya. "Heh, telor ceplok! Enteng banget lo ngeplak pala gue, asal lo tau ini ntuh aset satu-satunya yang gue punya," cetus Ian.

Ega mengikuti gerakan Ian sambil bilang, "nyenyenyenye."

Kirea sudah terbiasa dengan perdebatan antara Ian dan Kirea di kelas, sehari bisa 3 kali. Udah seperti minum obat saja.

"Hati-hati biasanya yang suka ribut-ribut kayak gitu bisa jadi jodoh, Ga." Kirea memperingati, membuat Ega memutarkan bola matanya.

"Dapet ilmu dari mana lo bisa nyimpulin kaya gitu?"

Kirea akhirnya duduk kembali di samping Ega. Dia menoleh pada Ega. "Heheh. Dari FTV," celetuknya.
"Iss." Ega berdesis. "Dasar korban FTV."

"Emangnya lo tau FTV? Lo pernah nonton TV?"

"Dih, si anying. Gue 'kan dulu pas SMP masih tinggal di rumah. Ya gue dulu sering nonton TV juga lah."

Ega dulu mempunyai seorang ayah yang bekerja di perusahaan sebagai satpam, semenjak ayahnya tersebut meninggal, sang pemilik perusahaan tersebut menawarkan Ega untuk bersekolah di Tacenda ini. Yah, itulah asal-usul Ega kurang lebihnya.

"Oh, iya hehe." Kirea mendadak lupa karena terlalu banyak yang dipikirkan olehnya.

Guru di depan merapihkan tumpukan buku-buku muridnya. "Baik, semuanya harap tenang, saya akan meriksa tugas kalian sebentar," perintah guru tersebut.

"Baik, Pak," jawab mereka serentak.

Ega malas sekali jika harus menunggu seperti ini, kelas juga tak asik, orang-orangnya kebanyakan ribut. Ega berpura-pura memegangi perutnya. "Kir, temenin gue, yok!"

"Ngapa lo?"

"Mules banget perut gue, ayo cepet-cepet." Ega langsung mendadak sakit.

Ega permisi ke gurunya untuk ke kamar mandi bersama Kirea. Dan setelah keluar dari kelas dia kembali terlihat santai dan biasa-biasa saja.

"Ih, si aneh mah. Tadi lo sakit?" tanya Kirea yang melihat perubahan Ega begitu saja.

Ega nyengir. "Hehe, acting doang tadi mah. Gue cuman males aja di kelas, cabut aja lah yuk, gue aslinya gak pengen ke kamar mandi."

Kirea memutarkan bola matanya. Gara-gara Ega bilang 'kamar mandi', Kirea malah reflek kebelet buang air kecil, seperti terkena kontak batin.

"Gue mau ke kamar mandi, ah."

***

Sekolah elite air sulit, gerutu Kirea dalam hati. Dia kembali ke kelas dengan keadaan yang sangat jengkel, bisa-biasanya tadi dia harus menunggu hampir 5 menit berjongkok agar gayung dengan model love terisi penuh air.

Kelihatannya saja yang mewah, padahal masih pake gayung.

Sekali lagi, Ega tetap bilang, "namanya juga kita bukan anak unggulan. Yaudah ayok cabut aja kita pulang!"

Kirea menghela gusar. Dia tak berniat untuk mencari masalah di sekolah ini, apalagi harus bolos mata pelajaran, bisa-bisa dia tak akan menempuh peringkat unggulan.

Saat melangkahkan kakinya masuk ke kelas, semua mata menatap pada Kirea dan Ega seperti mereka habis membunuh seseorang.

"Duh, Kirea, ini pasti karena lo lama banget di kamar mandi," bisik Ega di telinga Kirea.

"Dih, kok gue, anjai. Gak ada aer tadi," bela Kirea pada dirinya sendiri.

Dikeheningan tersebut pak guru tiba-tiba berdiri dan berjalan ke arah Kirea dan Ega yang masih berdiri di depan pintu. "Selamat, nilai tugas kamu yang paling tinggi hari ini. Beri tepuk tangannya semua," seru guru itu.

Yang lain memberikan tepukan tangan dengan semangat.

"Eh, serius, Pak? Gila tumben banget, cuy. Asli, ini mah pencapaian gue selama sekolah di sini, mana Pak kertasnya? Mau saya pajang di dinding kamer." Ega tak kalah bersemangat, perasaan dia tak ada belajar apa-apa tadi malam, dan juga tadi dia menjawab soal dengan asal-asalan.

"Hust." Guru itu menyela perkataan Ega. "Bukan kamu, tapi si anak baru ini." Guru itu memberi kertas ujian Kirea.

Kirea sedikitsyok dengan hal itu, ternyata kerja kerasnya untuk belajar sedikit demi sedikitmembuahkan hasil yang memuaskan.


Bersambung ...

MEMANUSIAKAN MANUSIA (TAMAT)Where stories live. Discover now