24. Pengalaman dan Pengetahuan

3 2 0
                                    

"Experience is the best teacher, and the worst experiences teach the best lessons." -Jordan Peterson

"Kirea, lo keren banget bisa dapet nilai sempurna di ujian praktek ini."

Rintik-rintik hujan mulai terasa pada tubuh-tubuh mungil berbalut seragam putih abu-abu saat pulang sekolah. Dengan saling merangkul satu sama lain ketiga cewek itu bersenandung bersama layaknya tak mempunyai beban yang ditanggung. Apalagi hari ini Kirea mendapatkan nilai ujian praktek memasak yang sempurna. Kemudian, Yunji dan Ega juga turut merasa senang dan merayakannya kecil-kecilan dengan bersenandung sembari berjalan menuju asrama mereka. La la la la la la la la la la.

Sampailah mereka di lantai satu. Melakukan rutinitas seperti biasa, menyapa orang-orang di sana, menebar senyum, mengasihani nasib mereka. Mereka lanjut berjalan ke lantai dua, sama juga seperti tadi. Tak mau lama-lama, langsung saja Kirea, Yunji, dan Ega menuju kamar dengan ekspreksi meriah karena dapat merebahkan diri lagi di kasur dari ujian praktek yang berhawa mematikan.

"Guys, menurut kalian kelas 12 nanti kita masih bisa kayak gini gak ya?"

Ega, sang pembuka percakapan langsung menopang dagu, takutnya di jenjang kelas berikutnya mereka akan berada pada peringkat yang berbeda-beda sehingga membuat perpisahan. Cewek itu memperhatikan kedua temannya dengan lamat-lamat, feeling-nya kurang enak. Tak tahu kenapa.

Kirea mengenggam tangan Ega, berusaha meyakinkannya. "Gue yakin kita pasti tetep kayak gini kok, mau gimana pun kondisinya." Kirea melirik pada Yunji, cewek itu hanya membalas dengan tersenyum singkat.

"janji ya?"

Kirea dan Yunji manggut-manggut.

Siang ini setelah makan siang nanti—niatnya. Kirea paling malas kalau disuruh makan siang, lauk-pauknya tak lezat bahkan menelannya pun tak sanggup, lagi pula di sekolah tadi dirinya sudah teramat kenyang dan masih kenyang sampai sekarang. Oh, iya, karena hari ini dia belum sempat makan di sekolah pada jam istirahat, jadinya kini dia merasa kelaparan. Nah, setelah makan siang ini dia harus mencuci baju-baju milik peringkat unggulan yang sudah menumpuk luar biasa bak gunung tertinggi di dunia apalagi kalau bukan gunung Everest yang memiliki ketinggian 8.848 mdpl pada perbatasan antara Nepal dan Tibet, Cina.

Semenjak berada di sini dia menjadi pekerja keras juga. Bangun pagi-pagi, mengerjakan semua tugas yang diberikan guru, mencuci baju dan sepatu yang sebelumnya jika di rumah dicucikan asisten-nya, dan sebagainya. Sebenarnya pas hari minggu kemarin barusan saja dia mencuci baju, tapi entah bagaimana caranya manusia-manusia itu bisa kembali menumpukkan baju kotor mereka kembali tanpa rasa canggung di hari saat dia piket mencuci.

Peringkat unggulan sudah seperti kambing. Makan—tidur. Perbedaannya hanya kambing tak punya otak sebaik mereka.

Oh, iya. Sedari lama baru sempat menceritakannya. Bagi peringkat tengah dan terbawah punya kamar mandi umum masing-masing. Kalau toilet peringkat tengah kira-kira ada sepuluh dan tiga yang tak berfungsi, kalau toilet peringkat terbawah ada sepuluh juga dan tiga yang berfungsi. Kebayang bagaimana riuhnya keadaan tiap pagi di peringkat terbawah? Itulah alasan kenapa mereka sering terlambat menuju sekolah.

Sebenarnya Kirea tak perlu bersih-bersih mencuci pakaian-pakaian itu. Toh, itu bukan punya-nya, iya 'kan? Tapi karena kebetulan mood-nya sedang baik hari ini, dia melakukannya dengan teramat niat dan suka cita.

Langit di luar berwarna pekat sekelam kelabu sehingga berevolusi menjadi derai hujan yang deras bercampur gemuruh petir yang menakutkan. Untungnya dia di lantai dua, jadi hujan, badai, angin, segala macam hal lainnya tak bisa menyalur langsung pada dirinya. Dengar deru suaranya pun tidak.

MEMANUSIAKAN MANUSIA (TAMAT)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora