11; the art of forgiving

113 14 1
                                    

"Terima kasih, silakan datang kembali."

Kalimat prosedural yang diiringi senyum samar itu dibalas anggukan dan senyum yang sama tipisnya. Bara menghela ketika ibu-ibu tadi sudah berlalu dari pandangannya, meninggalkan pintu minimarket tertutup dengan sendirinya. Lelaki itu kemudian menyeka keningnya sekali lagi. Rasa menusuk di dalam kepalanya terasa makin menjadi, semakin tidak tertahankan.

"Barㅡeh, kenapa lo? Sakit?"

Suara Wildanㅡsalah satu rekan kerjanyaㅡmenguar di telinga Bara. Membuatnya mendongak dan menemukan sorot terkejut yang mengarah intens padanya. Bara lalu tersenyum tipis sembari menggeleng.

"Apaan dah lo?" kilahnya.

"Pucet, anjir, Bar, muka lo!"

Tuduhan itu membuat Bara justru mengernyit. "Enggak usah ngatain warna kulit gitu, dong," balasnya, setengah bercanda.

"Si tolol!" sentak Wildan, gemas. "Serius gue."

Sambil tertawa kecil, Bara kembali menggeleng. "Enggak pa-pa gue. Kenapa lo tadi manggil?"

Wildan mendelik, matanya menyipit menyelidik sebelum akhirnya mengedik samarㅡmemutuskan untuk memercayai kawannya. "Itu, gue mau tanya, data yang di stock card udah lo update sama pengiriman tadi siang?"

"Oh, itu," Bara mengangguk. "Udah, kok. Udah dicek ulang Farhan juga tadi sebelum dia pulang."

"Oh, oke." Wildan mengacungkan ibu jarinya. "Lo kalo enggak enak badan, ngaso aja dulu. Lagi enggak ada pembeli juga."

Tapi sekali lagi, Bara hanya terkekeh. "Enggak pa-pa gue, Wil, elah. Udah sana, lo balik beresin belakang aja."

"Ck, dibilangin," keluh Wildan. Meski baru beberapa minggu menjadi rekan kerja, agaknya Wildan sudah mengerti betul watak keras kepala Bara. Jadi, lelaki itu memutuskan untuk mengalah dan berlalu. Menyisakan Bara melunturkan kepura-puraannya sendirian.

Si kulit pucat itu kemudian berjongkok sebentar, menyembunyikan dirinya di balik meja kasir. Kepalanya terasa semakin tidak nyaman. Bara benci obat-obatan. Ia akan menghindarinya sebisa mungkin. Tapi, jika sakit kepala ini tidak kunjung hilang hingga setengah jam ke depan, mungkin, ia harus mempertimbangkan gagasan menelan salah satu tablet pahit pereda nyeri itu.

Karena setidaknya, ia butuh kepala yang tidak sakit untuk kembali ke kontrakan Chanif di jam pulangnya nanti. Jaraknya memang tidak seberapa jauh, tapi mengharuskan Bara memakai kendaraan umum. Dan menggunakan fasilitas umum di malam hari, dengan kesadaran yang tidak penuh akibat kepala yang sakit, tidak terdengar seperti ide yang bagus.

Diam-diam, Bara memutar otak. Ia tentu saja bisa memanfaatkan teknologi bernama ojek atau taksi daring. Tapi di keadaannya yang sekarang, ia tentu memilih untuk memangkas pengeluaran sebaik yang ia bisa. Sisa uangnya sudah tipis, gaji dari pekerjaan barunya baru akan ia terima sekitar dua sampai tiga minggu lagi. Bara harus berhemat. Meski itu berarti ia hanya memiliki dua pilihan: pulang dengan kepala sakit, atau menelan obat pereda sakit kepala.

Baiklah, ia akan memilih yang kedua jika sakitnya tidak kunjung reda.

Lelaki itu kemudian kembali berdiri, menggelengkan kepala perlahan berharap peningnya lekas berkurang. Hanya sepersekian detik setelahnya, ponsel Bara bergetar terus-menerus di saku celananyaㅡpertanda panggilan masuk. Membuat Bara menghela sembari memeriksa siapa yang meneleponnya.

Nama Ajun tertera di layar, membuatnya mengernyit. Sejatinya, Bara tidak diperbolehkan menggunakan ponsel selama jam kerjanya. Tapi, lelaki itu tahu, Ajun tidak akan menelepon kecuali ada yang penting.

Beautiful Us✔Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin