19; don't you worry

74 12 2
                                    

Chanif dan Ajun tidak pernah bersaing.

Tepatnya, Ajun tidak pernah membiarkan mereka bersaing demi sesuatu.

Di bangku sekolah dasar dulu, ketika keduanya sama-sama mewakili kelas masing-masing mengikuti lomba mengisi salah satu hari besar nasional, Chanif pernah tanpa sengaja mencuri dengar bagaimana Ajun meminta izin pada wali kelasnya untuk mengundurkan diri. Waktu itu Ajun beralasan, ia tidak bisa mengikuti mata lomba yang sama dengan adiknya. Tidak peduli bagaimana sang guru wali dan teman-teman sekelas berusaha meyakinkannya, Ajun tetap kukuh pada keputusan semula. Ajun tidak ingin bersaing dengan Chanif. Meski itu berarti ia harus menyingkirkan dirinya sendiri dari persaingan.

Lambat laun, seiring beranjak dewasa, Chanif mengerti semua dengan lebih jelas. Bagaimana sang kakak selalu mengalah untuknya. Bagaimana Ajun membelanya tiap kali ia bertengkar dengan Bapak. Bagaimana Ajun berusaha mendukung apa pun yang ia sukai meski itu berarti menentang dan menghadapi kemarahan ayah mereka.

Ajun selalu di pihaknya.

Ajun selalu menjadi perisai baginya.

Meski Chanif membenci bagaimana Ajun bertingkah seolah Chanif adalah bocah berumur lima tahun, jauh di lubuk hati, Chanif selalu berterima kasih.

Kakaknya itu telah melakukan banyak hal untuknya. Terlalu banyak hingga rasanya sisa hidup Chanif pun tidak akan cukup untuk membalas.

Lalu, jika sekarang mereka menyukai gadis yang sama, haruskah Chanif melakukan pengorbanannya yang pertama?

Lelaki itu mengembuskan napas kasar.

Kalau Ajun mengetahui fakta iniㅡ bagaimana ia dan Chanif menyukai gadis yang samaㅡAjun tentu tidak akan berpikir dua kali. Ia akan mundur tanpa mempertimbangkan apa-apa. Chanif mengenal kakaknya dengan sangat baik. Ajun tidak akan kesulitan mengambil keputusan.

Tidak seperti dirinya saat ini.

Lagi, Chanif menggosok keningnya sendiri dengan telapak tangan, seolah berusaha menjernihkan pikiran.

Jika dipikir dengan hati-hati, ia memang tidak pernah memberitahu Ajun kalau beberapa waktu belakangan, ia sedang cukup dekat dengan Citra. Ajun tidak tahu. Tidak ada yang tahu.

Ia bisa saja menjauhi Citra dan berpura-pura tidak merasakan apa-apa. Toh, perasaannya juga belum sedalam itu. Dengan begitu, semuanya akan aman. Ajun bisa melancarkan niatnya jika ingin mendekati Citra. Chanif akan berhenti mengontak gadis itu. Lalu selesai.

Ia tinggal menerima jika nantinya Citra benar-benar menjadi kakak iparnya.

Tapi bagaimana jika Citra tidak menyukai Ajun?

Bagaimana jika ternyata Citra juga menyukai Chanif?

Chanif tertegun mendengar argumen itu disuarakan oleh kepalanya sendiri.

Tidak.

Ia tidak bisa mempertahankan diri tetap berada di lingkaran setan ini. Chanif menggelengkan kepala. Ia akan mundur. Sebelum Ajun mengetahui atau menyadari apapun, ia akan pergi lebih dulu. Ajun sudah terlalu banyak mengorbankan diri untuknya. Membalas kebaikan sang kakak satu kali seharusnya tidak akan terlalu membebani.

Kepala Chanif lantas terangguk, meyakinkan dirinya sendiri.

Benar. Begitu akan lebih baik.

Suara ketukan halus di pintu kamar membuat Chanif tersadar. Ia menolehkan kepala bersamaan dengan pintu yang terdorong membuka.

"Chan," kepala Bara menyembul dari baliknya. "Sibuk?"

Chanif mengerjap satu kali. Lalu menggeleng. "Enggak, tuh. Kenapa?"

Beautiful Us✔Where stories live. Discover now