O6; drifting apart

115 16 39
                                    

Kalau bisa menobatkan dirinya sendiri sebagai pemain watak terbaik di dunia, Rama pasti sudah melakukannya sejak lama. Bukan bermaksud menyombong, hanya saja, kelihaiannya menyembunyikan suasana hati terkadang membuat Rama tak habis pikir sendiri.

Terdengar tawa kecil yang lalu mengusik Rama, membuat lelaki itu memandang sosok di hadapannyaㅡyang tengah tertawa sendiri sembari menatap layar ponsel.

"Kenapa lo?" tanya Rama, penasaran.

Yang ditanyaㅡDanarㅡmengangkat muka sembari berusaha menahan tawa. "Enggak," katanya, menutupi mulut dengan tangan. "Enggak pa-pa."

Keduanya tengah makan siang bersama, di satu rumah makan dekat kantor Rama. Tadi, Danar menghubungi kawannya itu untuk bertemu, segera setelah menyelesaikan urusan dengan klien yang kebetulan satu daerah perkantoran dengan Rama.

"Dara?" tebak Rama, dengan satu alis terangkat.

Nama itu sempat membuat Danar terdiam sebentar, sebelum mengulas senyum tipis lalu mengangguk samar.

"Udah baikan?" Rama bertanya lagi, iseng.

Danar berdecak. "Udah."

Lihat, kan? Semua orang begitu terbaca suasana hatinya.

Semua orang selain Rama.

Karena lelaki itu sekarang justru tersenyum ringanㅡtidak ada yang tahu tentang drama yang terjadi di keluarganya beberapa hari lalu. Tidak perlu ada yang tahu.

"Baguslah," celetuk Rama. "Jangan ribut mulu, nanti afeksinya berkurang."

Di hadapan Rama, Danar bergidik.

"Sok bener, anjir, lo. Enggak cocok!"

"Sialan!"

Keduanya lalu menderai tawa. Begitulah. Tertawa ringan seakan tidak memiliki masalah apa pun dalam hidup adalah salah satu keahlian Rama. Ia terbiasa tampil netral, tidak terlalu banyak menunjukkan gejolak emosi.

"Balik, yuk? Lo enggak balik kerja?" tanya Danar kemudian, menyimpan ponselnya ke saku celana, lalu menghabiskan isi gelasnya.

Rama cuma mengedik santai. "Kantor gue dari sini juga keliatan, Nar. Santai," ujarnya, nyengir. "Lo mau balik sekarang?"

Sembari melepas bibir dari gelasnya, Danar mengangguk. "Ada deadline. Mau briefing juga sama anak-anak soal proyek baru yang tadi."

"Oh."

Dua pemuda itu lalu bangkit dari kursi masing-masing setelah memastikan tidak ada yang tertinggal. Mereka melangkah meninggalkan meja, menuju pintu keluar.

"Eh, Ram," Danar tiba-tiba bersuara kala tangannya baru saja melepaskan gagang pintuㅡmembiarkannya tertutup kembali. "Deket sini ada minimarket, enggak?"

Sepasang alis Rama terangkat. "Di gedung kantor gue ada tuh. Mau nyari apaan lo?"

"Rokok."

Jawaban asal yang sambil lalu itu membuat kening Rama lekas berkerut. "Lo ngerokok? Sejak kapan?"

Yang terdengar selanjutnya justru gelak tawa. Gelak tawa menyebalkan yang membuat Rama sadar kalau ia baru saja menjadi korban kejahilan Danar. Karenanya, tangan Rama lantas mampir demi mendorong bahu temannya itu.

"Lagian percaya," kilah Danar, membela diri. Langkah keduanya sampai di depan pintu minimarket yang Rama maksud. "Mau ikut gue dulu, enggak?"

"Males, lah," dengkus Rama. Langkahnya hampir berbalik meninggalkan Danar ketika kemudian ia justru kembali memandang wajah bertanya di hadapannya. "Tapi gue juga males naik ke atas. Gimana, ya?"

Beautiful Us✔Where stories live. Discover now